Tembakau Disetarakan Narkotika di RUU Kesehatan, Wakil Ketua MPR: Hati-hati Dampak Sosial dan Ekonomi!
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengingatkan supaya penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan mengedepankan prinsip kehati-hatian. Terutama karena adanya penyetaraan tembakau dengan alkohol, narkotika, dan psikotropika sebagaimana tercantum dalam Pasal 154 di RUU Kesehatan yang akan bersifat omnibus law itu.
"Menanggapi adanya upaya menyetarakan tembakau dengan narkotika dalam pembahasan RUU Kesehatan dewasa ini, semua pihak harus mengedepankan kehatian-hatian," pinta Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, kepada wartawan, dikutip Selasa (20/6/2023).
Baca Juga: Audiensi dengan DPR, FSP RTMM-SPSI Suarakan Tuntutan Terkait Pasal Tembakau di RUU Kesehatan
Jika hasil olahan tembakau kelak dianggap masuk dalam kategori narkotika dan psikotropika, Lestari mengatakan, akan menimbulkan diskriminasi terhadap petani tembakau yang sudah turun temurun membudidayakan tanaman tembakau sejak zaman kolonial. "Kondisi itu pun akan berdampak secara ekonomi terhadap petani tembakau," terusnya.
Selain itu, narkotika dan psikotropika sudah diatur dalam undang-undang khusus. Lestari menambahkan, memasukkan tembakau bersama alkohol, narkotika, dan psikotropika dalam satu pasal zat adiktif di RUU Kesehatan akan menimbulkan permasalahan sosial.
"Pembahasan mengenai RUU Kesehatan itu harus mempertimbangkan berbagai dampak terhadap berbagai pihak dan berbagai aspek," terangnya.
Lestari juga mengingatkan bahwa transparansi sangat penting dalam proses pembahasan RUU Kesehatan. "Supaya para pemangku kepentingan dan masyarakat dapat memahami latar belakang dan tujuan kebijakan itu dibuat," ujarnya.
Terpisah, anggota Komisi IV DPR RI, Panggah Susanto, mengungkapkan kekhawatiran besar jika Pasal 154 sampai Pasal 158 dalam RUU Kesehatan benar-benar disahkan. "RUU Kesehatan, khususnya Pasal 154-158 itu nuansanya tidak adil karena RUU itu menyamakan tembakau dengan narkotika. Padahal, industri hasil tembakau itu legal," tegasnya.
Industri hasil tembakau memiliki izin dan diatur undang-undang serta peraturan lainnya. Industri ini, sebut Panggah, juga membuka lapangan kerja bagi masyarakat.
"Saya sudah pernah menyampaikan masalah ini kepada para petani tembakau di dapil saya, Jawa Tengah VI yang meliputi Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Magelang, Kabupaten Temanggung, dan Kota Magelang. Bahkan, para petani datang ke rumah saya. Mereka dengan tegas menolak pasal itu karena akan sangat merugikan masyarakat. Pasal tembakau di RUU itu tidak adil," jelasnya.
Pemberlakuan pasal tembakau yang dinilai kontroversial tersebut dikhawatirkan akan berdampak negatif kepada semua masyarakat yang hidupnya bersinggungan dengan tembakau. "Tentu itu sangat mekhawatirkan dan menakutkan. Sebab, hidup masyarakat banyak yang bergantung dengan tembakau," jelas Panggah menegaskan.
Dari hasil tembakau, jutaan masyarakat memenuhi kebutuhan sehari-hari; membiayai sekolah anak dan kebutuhan dasar lainnya. "Ada sekitar 6 juta orang yang menggantungkan hidupnya dariĀ industri hasil tembakau. Itu baru satu kepala keluarga. Kalau dalam satu rumah ada tiga orang, ada 18 juta jiwa yang mengandalkan hasil tembakau. Industri tembakau juga menyumbangkan cukai ke negara lebih dari Rp200 triliun," ulasnya.
Baca Juga: Anggota DPR Usul Pengeluaran Aturan Tembakau dengan Narkotika dan Psikotropika di RUU Kesehatan
Oleh karena itu, Panggah dengan tegas menolak pasal-pasal yang berkaitan dengan tembakau dalam RUU Kesehatan. "Kami meminta agar pasal tembakau itu dikeluarkan dari RUU Kesehatan. Tembakau bisa diatur dalam peraturan terpisah dan tidak digabung dengan pasal yang mengatur tentang narkotika," pintanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: