Audiensi dengan DPR, FSP RTMM-SPSI Suarakan Tuntutan Terkait Pasal Tembakau di RUU Kesehatan
Komisi IX DPR RI menerima perwakilan Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP RTMM-SPSI) untuk melakukan audiensi di tengah-tengah aksi damai yang dilakukan oleh sekitar 1.000 peserta di depan Gedung DPR RI pada Rabu (14/06). Ada tiga tuntutan yang disampaikan secara langsung oleh perwakilan FSP RTMM-SPSI terkait pasal tembakau di RUU Kesehatan.
Ketua Umum Pimpinan Pusat FSP RTMM-SPSI, Sudarto AS, mengatakan sebanyak 10 orang perwakilan anggotanya diterima DPR dan menyampaikan sejumlah kekhawatiran terhadap pasal tembakau di RUU Kesehatan yang mengancam mata pencaharian para pekerja di Industri Hasil Tembakau (IHT). Pasalnya, tembakau yang merupakan produk legal, akan disetarakan dengan narkotika dan psikotropika yang statusnya ilegal, dan minuman beralkohol yang produknya diatur sudah diatur ketat.
Selain itu ditengarai terdapat potensi pemusatan kewenangan pengaturan industri tembakau oleh Kementerian Kesehatan melalui kewenangan pengaturan standar kemasan.
Kedua hal ini dinilai akan memicu aturan yang lebih ketat dan akan memukul habis sektor IHT. Padahal, dengan aturan yang berlaku sekarang, kondisi IHT yang menyerap jutaan tenaga kerja ini tidak sedang baik-baik saja, bahkan terseok-seok. “Kalau boleh kami laporkan, IHT sangat tertekan dan tepuruk. Dalam kurun waktu 12 tahun, lebih dari 80.000 anggota kami telah kehilangan pekerjaan. RUU Kesehatan ini berpotensi mematikan IHT yang merupakan sawah ladang penghidupan anggota kami yang bekerja di IHT,” ujar Sudarto.
Lebih lanjut, Sudarto menjelaskan, mayoritas anggota FSP RTMM-SPSI yang menjadi pekerja IHT adalah tulang punggung keluarga. Oleh karena itu, jika IHT terus menerus diserang dengan aturan yang tidak memihak para pekerja, maka para pekerja yang mayoritas perempuan ini akan kehilangan mata pencaharian tunggal.
“Mereka umumnya memiliki pendidikan terbatas, dapat diserap oleh IHT. Di daerah, industri ini berperan dalam menggerakkan perekonomian daerah. Bekerja pada IHT merupakan kebanggaan para pekerja, karena merupakan sumber penghasilan yang halal dan legal,” tambahnya.
Sementara itu, jika dilihat lebih luas lagi, sektor IHT merupakan salah satu penyumbang besar pendapatan negara lewat cukai. Direktorat Jenderal Bea Cukai bahkan menargetkan peningkatan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar lebih dari Rp 13 triliun pada tahun ini, di mana target CHT pada 2023 dipatok sebesar Rp 232 triliun sementara realisasi pendapatan CHT sepanjang tahun lalu mencapai Rp 218,62 triliun.
“Kita sama-sama tahu, produk tembakau adalah produk legal yang memberikan kontribusi cukup besar bagi pemasukan negara,” tegas Sudarto.
Oleh karena itu, dalam aksi damai dan kesempatan audiensi tersebut, FSP RTMM-SPSI meminta kepada DPR: agar tidak menyamakan dan mengelompokkan produk tembakau dengan narkotika, psikotropika, dan minuman beralkohol; tidak membuka kesempatan bagi Kementerian Kesehatan untuk mengambil alih kewenangan kementrian lain dan memperketat norma tanpa mempertimbangkan realitas pada industri pertembakauan; serta membuat aturan yang fokus pada peningkatan pelayanan kesehatan, khususnya pekerja.
“FSP RTMM-SPSI memiliki total anggota sebanyak 229.222 pekerja yang di mana 64.79% atau sekitar 148.509 bekerja pada sektor IHT. Jadi, kami memiliki kepentingan dari perubahan regulasi pertembakauan di Indonesia. Sudah selayaknya pekerja atau perwakilan pekerja di sektor IHT dilibatkan dalam pembentukan RUU ini,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait:
Advertisement