Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Saksi Bisu Pelanggaran HAM Berat di Aceh Dibongkar Pemkab Pidie, Kemenko Polhukam Klarifikasi

        Saksi Bisu Pelanggaran HAM Berat di Aceh Dibongkar Pemkab Pidie, Kemenko Polhukam Klarifikasi Kredit Foto: Instagram/nanggroe_geumpang
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Rumoh Geudong, saksi bisu pelanggaran HAM berat masyarakat Kabupaten Pidie, Aceh, dikabarkan diruntuhkan oleh Pemerintah Kabupaten Pidie pada 19 hingga 21 Juni 2023 lalu. Rencananya, pembongkaran Rumoh Geudong akan dialihfungsikan sebagai masjid.

        Sebagaimana diketahui, Rumoh Geudong merupakan Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) di Sektor A, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, itu merupakan tempat terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di periode Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989–1998.

        Baca Juga: Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Melalui Santunan Para Korban, Kenapa?

        Adapun pembongkaran tersebut dikaitkan dengan agenda kick-off Pelaksanaan Rekomendasi Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu yang rencananya akan dihadiri langsung oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

        Menanggapi hal tersebut, Deputi V Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Rudolf Alberth Rodja, meluruskan kabar pembongkaran Rumoh Geudong. Dia menegaskan, kabar tersebut adalah hal yang keliru.

        Pasalnya, kata Rudolf, Rumoh hanya menyisakan anak tangga dan dua bidang tembok dengan tinggi sekitar 1,60 meter yang ditumbuhi semak belukar serta beberapa pohon kelapa. Dia menyebut, bagian utama Rumoh Geudong telah dibongkar oleh masyarakat Pidie pada tahun 1998.

        "Di Rumoh Geudong dulu memang terjadi tempat pelanggaran HAM berat kepada warga Aceh di tahun 1989, tetapi pada 1998, itu dibongkar sendiri oleh masyarakat yang berada di situ dengan maksud untuk tidak mengenang lagi kejadian yang lalu," kata Rudolf dalam konferensi persnya di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Jumat (23/6/2023).

        "Yang sekarang tersisa adalah tembok-tembok yang ada di sana dan ada rangka yang tersisa walaupun itu adalah rumah panggung, tetapi tangganya terbuat dari semen, jadi tidak rusak," tambahnya.

        Dia pun membantah sumur yang berada di Rumoh Geudong telah ditimbun oleh Pemerintah Kabupaten Pidie. Rudolf menegaskan, sumur tersebut masih ada beserta air di dalamnya.

        "Sumur itu masih tetap ada, dulu rumah itu belum dibongkar, ada satu sumur di bagian dalam, dan itu masih ada air dan kami sudah cek sendiri, kemudian di luar pun ada sumur itu, mungkin untuk di halaman, dan itu masih utuh," tegasnya.

        Rudolf juga menuturkan, bangunan yang tersisa akan dijadikan sebagai simbol terjadi peristiwa kemanusiaan di Rumoh Geudong. Oleh karenanya, dia mengaku kick off tersebut memiliki tekad mengakhiri seluruh peristiwa kemanusiaan di Indonesia.

        "Nanti tenda yang akan dibuat itu panggungnya agar bersebelahan dengan tangga yang sisa dari rumah tersebut. Ini sudah didesain oleh panitia sehingga tangga ini menjadi simbol, akan terus bergerak naik meningkat ke level pemahaman dan penghormatan terhadap nilai dan prinsip hak asasi manusia," katanya.

        Baca Juga: Mahfud Teriak Kalau Mafia Jadi Tantangan Besar Bagi Menko Polhukam

        "Sekali lagi saya sampaikan tidak ada bangunan, narasi bangunan dibongkar oleh panitia itu adalah menyesatkan yang ada tinggal ada tangga dan tembok dan tembok ini harus diratakan karena akan mengganggu pemasangan tenda," tandasnya.

        Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengaku menyesalkan tindak perobohan bangunan Rumoh Geudong tersebut. Pasalnya, Usman menilai bahwa bangunan itu merupakan sebuah situs sejarah sekaligus bukti adanya kejahatan serius di Kabupaten Pidie, Aceh.

        "Penghancuran bangunan penting ini menimbulkan pertanyaan terkait keseriusan negara dalam upaya menuliskan ulang sejarah Indonesia dan upaya lain berupa memorialisasi pelanggaran HAM berat di Aceh. Rumoh Geudong adalah tempat penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan pembunuhan yang paling diingat dan dikenang oleh rakyat Aceh," kata Usman dalam keterangan tertulisnya, Kamis (22/6).

        "Situs ini telah menjadi monumen peringatan karena memiliki nilai budaya, sejarah, dan simbolik yang sangat besar, yaitu menjadi pengingat akan penderitaan yang dialami rakyat Aceh selama konflik bersenjata dan agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Seharusnya monumen ini dirawat, bukan dihancurkan," tandasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Andi Hidayat
        Editor: Puri Mei Setyaningrum

        Bagikan Artikel: