Konektivitas Antarpulau Rendah, Faisal Basri: Indonesia Negara Kepulauan, tapi Mentalitas Daratan
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki belasan ribu pulau yang membentang dari ujung Sabang sampai Merauke. Hal itu yang menjadi salah satu tantangan dalam mengurangi disparitas regional. Pada praktiknya, banyak daerah di Indonesia memiliki infrastruktur dan layanan transportasi publik yang terbatas dan jarak yang jauh sehingga berimbas pada tinggi biaya distribusi barang.
Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri, menyebut bahwa dengan tersebarnya pulau-pulau tersebut, maka laut menjadi pemersatu bangsa Indonesia, bukan sebagai pemisah.
“Indonesian paling unik di dunia. Kalau kita lihat dari dari geografisnya, negara kepulauan terbesar, perairannya sekitar dua pertiga dari luas wilayah, garis pantainya terpanjang kedua di dunia, ada yang bilang terpanjang kedua di dunia. Kita menggunakan sebutan Tanah Air, bukan motherland atau homeland. Lautlah yang mempersatukan pulau-pulau sehingga mengintegrasikan ekonomi domestik. Jangan bilang laut memisahkan pulau-pulau, lautlah yang membentuk gugusan zamrud khatulistiwa itu teruntai sedemikian sangat indahnya,” kata Faisal, dikutip dari kanal Youtube Neraca Ruang pada Jumat (30/06/23).
Baca Juga: Ridwan Kamil: Kurban Iduladha 1444 H Meningkat, Ekonomi Umat Islam Jabar Membaik
Namun, ia menjelaskan dalam konteks perekonomian, kondisi geografis Indonesia tersebut membuat konektivitas transportasi antarpulau menjadi sangat rendah. Hal ini kemudian berimplikasi pada tidak meratanya harga barang dan logistik di daerah-daerah Indonesia.
“Namun derajat integrasi ekonominya rendah. Jadi secara ekonomi, Indonesia itu tidak terintegrasi. Contohnya ongkos angkut Jakarta-Shanghai (pakai) laut itu lebih murah dari Jakarta-Makassar, ongkos angkut Jakarta-Amsterdam lebih murah daripada Jakarta-Papua. Oleh karena itu, jangan heran kalau jeruk mandarin, jeruk dari China, itu lebih murah dari jeruk Medan, karena di sana diangkut pakai kapal 20.000 ton, kalau dari Medan diangkut pakai truk yang cuma 10 ton, habis di ongkos,” bebernya.
Padahal, ia mengklaim 70% barang di seluruh dunia didistribusikan melalui jalur laut. Namun, pemerintah selama ini lebih memfokuskan pembangunan infrastruktur darat sebagai tumpuan distribusi barang di seluruh Indonesia. Alhasil, ia menyebut Indonesia sebagai negara kepulauan tetapi memiliki mentalitas daratan.
“80% angkutan barang di Indonesia lewat darat, padahal 70% barang di dunia ini lewat laut, karena ongkos angkutan darat rata-rata 10 kali lebih mahal dari laut. Gila enggak, negara kepulauan tapi mentalitasnya daratan. Di pidato, di atas kapal waktu Pak Jokowi menang pertama, setelah itu yang keluar cuma tol laut. Itu juga konsep darat mau dilautkan,” katanya.
Selain itu, ia mengkritisi rendahnya volume transportasi laut di Indonesia. Meskipun pada saat pandemi sempat naik, tetapi volume tersebut masih lebih rendah daripada moda transportasi lain.
“Ngomongnya tol laut, ngomongnya poros maritim, tapi peranan transportasi laut turun terus, karena Covid justru lautnya yang lebih naik. Yang lain-lain karena Covid turun, si lautnya naik karena lebih kebal dari Covid barangkali kalau kita naik transportasi laut. Tapi angkutan berbasis air turun terus,” ujarnya.
Dengan demikian, Faisal mengatakan bahwa dengan mengingat beragamnya kondisi geografis dan kultur masyarakat antardaerah, maka pendekatan sentralistik tidak cocok untuk digunakan dalam hal pembangunan infrastruktur di Indonesia.
“Ditambah lagi dengan suku bangsa, bahasa, adat istiadat, kondisi geografis, dan kekayaan alam. Rasanya enggak cocok Indonesia itu menggunakan pendekatan sentralistik, satu kebijakan buat seluruh provinsi, seluruh kabupaten-kota. Karena budayanya beda,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Lestari Ningsih
Tag Terkait: