Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Kondisi Ekonomi Antarpulau di Indonesia Tak Merata, Faisal Basri: Suara DPD Tidak Diberdayakan

        Kondisi Ekonomi Antarpulau di Indonesia Tak Merata, Faisal Basri: Suara DPD Tidak Diberdayakan Kredit Foto: Sufri Yuliardi
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Belasan ribu pulau yang terbentang dari Sabang hingga Merauke menjadikan Indonesia sebagai negara kepulauan. Kondisi tersebut juga yang menjadi salah satu tantangan dalam mengurangi disparitas regional. Namun, corak pembangunan antardaerah yang cenderung memfokuskan pada pembangunan infrastruktur jalur darat kemudian kemudian membuat rendahnya konektivitas antarpulau di Indonesia.

        Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri, menyebut bahwa kultur politik pembangunan yang tersentralisasi pada daratan merupakan pengaruh dari warisan zaman kerajaan, khususnya di Jawa. Pada zaman kerajaan Mataram, kekuatan yang berasal dari seberang laut cenderung dianggap sebagai musuh sehingga lebih memperkuat pembangunan infrastruktur daratan.

        Baca Juga: Konektivitas Antarpulau Rendah, Faisal Basri: Indonesia Negara Kepulauan, tapi Mentalitas Daratan

        “Abad ke-9 nusantara berjaya sekali di bawah Sriwijaya. Abad ke-14 pada era Majapahit, armada Majapahit itu mencapai kira-kira 400 kapal besar, salah satunya Jong Java. Waktu itu lebih besar kapasitas kapalnya daripada kapal Portugis terbesar, dan itu kejayaannya luar biasa. Makin ke sini utamanya di masa pemerintahan Mataram, itu berubah attitude-nya menjadi inward looking, kalau orang menghargai laut biasanya outward looking, yang datang itu dianggap teman bukan musuh. Di masa Mataram ini kekuatan-kekuatan dari luar itu dianggap musuh,” kata Faisal, dikutip dari kanal Youtube Neraca Ruang pada Jumat (30/06/23).

        Kultur politik ini kemudian terbawa setelah Indonesia merdeka. Hal ini semakin terlihat pada zaman Orde Baru, pemerintah cenderung memperkuat militer angkatan darat (TNI-AD) dibandingkan dengan yang lain.

        “Kemudian politik di Indonesia juga dikuasai oleh kultur Jawa itu, kultur Jawa Mataraman, yang kembali menempatkan darat sebagai sentrifugalnya, (contohnya) TNI Angkatan Darat yang paling kuat. Jadi perubahan yang dipengaruhi faktor politik itu sebetulnya kita kehilangan jati diri. Kita sadar itu munculah reformasi, maka salah satu tuntutannya adalah otonomi diperluas. Diperkenalkanlah yang namanya DPD, suara daerah,” bebernya.

        Ditambah dengan faktor representasi wilayah, besarnya penduduk Pulau Jawa membuat keterwakilan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Jawa semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan kebijakan pemerintah lebih difokuskan pada pembangunan di daerah Jawa.

        “Kalau DPR kan suara orang one man one foot, 59% penduduk Indonesia ada di Jawa ya representasi DPR-nya adalah Jawa. Sehingga alokasi anggarannya pun Jawa besar banget karena indikator penduduk dan wakil-wakil di DPR yang ngetok APBN juga dari Jawa. Karena itu perlu ada DPD, besar-kecil satu provinsi empat saja (perwakilan) satu provinsi,” katanya.

        Meskipun demikian, Faisal menjelaskan bahwa pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan upaya untuk mereduksi andil DPR dalam memutuskan kebijakan yang menyangkut daerah. Namun, karena tidak memiliki hak legislasi, fungsi DPD sebagai wakil dalam pembangunan daerah kemudian tidak dapat terlaksana dengan baik.

        “Namun DPD-nya tidak diberdayakan, hak legislasinya enggak ada, kan berjuang itu lewat legislasi. DPD cuma mendampingi atau ada urusan dengan daerah. Tidak ada satu pun undang-undang tidak yang tidak ada kaitannya dengan daerah. Harus ada politik uniform juga untuk menunjukkan betapa pentingnya suara daerah itu sebagai pengimbang dominasi Jawa,” katanya.

        Sebagai perbandingan, ia mengomparaskan ketimpangan pusat-daerah di Indonesia dengan di Amerika Serikat. Menurutnya, di Amerika Serikat menerapkan sistem pembagian kemakmuran (sharing of prosperity) sehingga daerah dapat menentukan berapa tarif pajak penghasilan (PPh). Dengan begitu, daerah dapat menentukan arah pembangunan infrastruktur yang akan diimplementasikan.

        “Amerika Serikat itu negara federal, tapi kekuatan pemerintah pusatnya lebih kuat dari Indonesia. Lebih kuatnya bukan dengan menggasak semua yang ada di negara bagian, tapi sharing prosperity yang proporsional. PPh negara bagian ini enggak dihasilkan di Indonesia. Kalau di Amerika, PPh negara bagian ini rate-nya ditentukan oleh daerah, enggak boleh lebih dari 5%,” katanya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Novri Ramadhan Rambe
        Editor: Lestari Ningsih

        Bagikan Artikel: