Seluruh stakeholder sepakat bahwa minyak dan gas bumi tidak bisa digantikan begitu saja oleh Energi Baru Terbarukan (EBT) dan justru menjadi elemen penting dalam proses transisi energi. Tuntutan keberlanjutan lingkungan dalam kegiatan operasi hulu migas menjadi lebih besar dan wajib dipenuhi oleh seluruh pelaku usaha. Masalahnya adalah bagaimana hal itu berjalan seimbang, pemenuhan kebutuhan energi serta keberlanjutan lingkungan melalui kegiatan operasional yang rendah emisi karbon.
Carole Gall, Indonesian Petroleum Association (IPA) Board, yang juga Presiden Direktur ExxonMobil Cepu Limited, mengungkapkan bahwa ExxonMobil memproyeksikan permintaan energi naik 15% rata-rata per tahunnya. Kemudian, 55% dari permintaan dunia akan energi tersebut akan dipenuhi dari migas.
Baca Juga: Implementasi CCS dan CCUS Mantapkan Posisi Krusial Migas dalam Era Transisi Energi
"Ini masih merupakan jumlah energi signifikan yang dipenuhi dari migas. Itu semua masih membutuhkan migas, solusinya tangani emisi dari migas adalah CCS (Carbon Capture Storage)/ CCUS (Carbon Capture Storage and Utilization)," ujar Carole dalam sesi diskusi Industry Insight bertema Maximize Oil and Gas Roles for Economic Growth in Energy Transition Era pada IPA Convex 2023, Selasa (25/7).
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), saat ini terdapat 15 proyek CCS/CCUS dalam berbagai tahapan, misalnya Gundih CCUS/Enhanced Gas Recovery (EGR) di Jawa Tengah, dan Sukowati CCUS/Enhanced Oil Recovery (EOR) di Jawa Timur.
Carole menjelaskan, selain menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan energi untuk beberapa dekade ke depan, sektor migas memainkan peran penting sekaligus unik dalam transisi energi karena memiliki sumber daya manusia yang mumpuni dalam mengawal transisi energi.
"Sektor migas ini punya sumber daya yang memiliki skill tepat untuk transisi energi, kita ada insinyur para pemikir komersial baik, bagaimana manajemen operasional, maintenance inovasi. Semua skill yang ada di sektor migas akan penting untuk transisi energi. Jadi, kita antisipasi bahwa dalam migas tidak hanya memberikan energi beberapa dekade ke depan, tapi juga otak; kemampuan solusi inovatif untuk transisi energi," jelas Carole.
Nuki Agya Utama, Direktur Eksekutif ASEAN Centre for Energy (ACE), mengatakan bahwa rumah tangga serta industri menjadi sektor konsumen migas yang utama. Asia Tenggara, lanjut dia, merupakan kawasan yang paling bergantung terhadap keberadaan migas.
"Konsumsi energi migas sekitar 50%-56% ini sangat besar terutama perlu dipertimbangkan Asia Tenggara mempertahankan sumber daya migas secara bijaksana. Semua diskusi berkaitan energi, orang-orang mereka hanya berpkir EBT, tidak memikirkan migas. Namun, di ASEAN kita masih mencari migas," jelas Nuki.
Baca Juga: Dorong Energi Hijau, PLN NP Akan Bangkitkan 6,3 GW EBT Lima Tahun ke Depan
Negara-negara ASEAN harus memiliki kesamaan visi dalam mengantisipasi tren konsumsi migas ke depan. Ketika CCS/CCUS sudah berjalan dengan baik, otomatis konsumsi pasti akan meningkat.
"Antisipasi ketergantungan kepada migas karena ini berkaitan dengan ketahanan energi. Kebijakan harus bisa menjembatani kerja sama antarsumber energi. Apakah 100% menuju EBT atau bertahap atau berusaha optimalkan hidrokarbon yang kita miliki," ujar Nuki.
Dwi Soetjipto, Kepala SKK Migas, menyatakan para pelaku usaha hulu migas sudah cukup baik beradaptasi terhadap tuntutan perubahan zaman. Perusahaan banyak yang sudah menyentuh sektor EBT untuk meningkatkan kontribusi penurunan emisi di operasional hulu migas. Ini membuktikan bahwa kesadaran akan keberlanjutan bisnis migas tetap tinggi.
"Industri migas saat ini tidak hanya berurusan dengan migas, tetapi juga dengan energi terbarukan karena itu merupakan bagian dari kesadaran akan lingkungan, walaupun tetap fokus di migas," kaya Dwi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum