Pemerintah berupaya untuk dapat meningkatkan produksi minyak dan gas (migas) demi ketahanan energi nasional melalui modifikasi skema Gross Split menjadi New Simplified Gross Split PSC atau skema bagi hasil Gross Split yang disederhanakan.
Deputi Eksplorasi, Pengembangan, dan Manajemen Wilayah Kerja, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Benny Lubiantara mengatakan, dalam modifikasi tersebut nantinya terkhusus Migas Non-Konvensional (MNK) akan ditawari skema bagi hasil sebesar 5-7 persen.
"Khusus yang MNK. Kita tawari 5-7 persen," ujar Benny saat ditemui di acara IPA Convex, Kamis (27/7/2023).
Baca Juga: Atasi Krisis Iklim, Energi, dan Ekonomi, Profesor Stanford University: Kurangi Migas!
Ketika dikonfirmasi mengenai beberapa proyek yang sudah berjalan dengan menggunakan Gross split tidak ekonomis, ia membenarkan hat tersebut. "Beberapa banyak yang tidak ekonomis," ujarnya.
Lanjutnya, melihat kondisi tersebut, SKK Migas bersama dengan pemerintah nantinya akan melihat permasalahan satu per satu atas peraturan yang ada.
"Kita lihat satu per satu, butuhnya apa, nantinya kita perbaiki supaya ekonomisnya tambah keekonomiannya," ucapnya.
Sebagaimana diketahui, untuk meningkatkan produksi migas demi ketahanan energi nasional, pemerintah mendorong pengembangan MNK, antara lain melalui modifikasi skema Gross Split menjadi New Simplified Gross Split PSC atau skema bagi hasil Gross Split yang disederhanakan.
“Pemerintah berencana memodifikasi skema Kontrak Kerja Sama (KKS) Gross Split yang saat ini ada pada Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split,” papar Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji.
Pemerintah mengusulkan New Simplified Gross Split PSC karena perkembangan MNK di Indonesia saat ini belum terdapat cadangan terbukti MNK, masih technically recoverable. Pengembangan MNK memerlukan teknologi baru yang belum pernah dilakukan di Indonesia.
Selain itu, secara alamiah proyek MNK membutuhkan biaya yang besar dan jumlah sumur yang banyak, sehingga perlu pengadaan yang cepat dan mudah. Juga, perlu diciptakan fiscal regime yang atraktif untuk menarik shale oil player ke Indonesia.
Tutuka menjelaskan, dalam Permen ESDM Nomor 8 Tahun 2017, bagi hasil didasarkan pada base split, komponen variabel dan komponen progresif. Dalam skema ini, tidak diperlukan persetujuan biaya, melainkan hanya persetujuan program kerja (WP). Hal ini dinilai dapat membawa konsekuensi untuk dilakukan verifikasi.
“Saat ini Gross Split yang ada, hitungannya bisa membawa konsekuensi untuk dilakukan verifikasi. Misalnya, kedalaman berapa ditambah sekian split-nya. Ada CO2, tambah sekian. Itu mendorong adanya verifikasi dan ini yang kita coba dorong untuk disederhanakan,” jelasnya.
Dalam Gross Split yang baru, diusulkan fixed split sepanjang kontrak, bagi hasil before tax ditentukan di awal kontrak dan bersifat fixed atau statis dan tanpa penyesuaian komponen variabel dan progresif seperti pada skema KKS Gross Split terdahulu. Selain itu, menawarkan fleksibilitas pengadaan barang atau jasa.
“Skema Gross Split ini menyerupai model R/T di Amerika Serikat atau skema pengembangan shale oil yang sudah proven,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti