Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada Juli 2023 mengalami surplus sebesar US$1,31 miliar atau sekitar Rp153,3 triliun. Hal ini berarti Indonesia telah mencatat surplus selama 39 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
"Pada Juli 2023 neraca perdagangan barang kembali mencatatkan surplus sebesar 1,31 miliar dolar AS. Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 39 bulan berturut-turut sejak Mei 2020," ujar Plt Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam Rilis Berita BPS di Jakarta, Selasa (15/8/2023).
Surplus neraca perdagangan pada Juli 2023 tersebut dikabarkan ditopang oleh kenaikan ekspor komoditas nonmigas yang menyumbang sebesar US$3,22 miliar. Sementara komoditas migas justru dikabarkan mengalami defisit sebesar US$1,91 miliar dibandingkan dengan Juni 2023.
Baca Juga: Juli 2023, Surplus Neraca Perdagangan Berlanjut jadi 1,31 Miliar Dolar AS
Komoditas penyumbang surplus utama adalah bahan bakar mineral, terutama batu bara dalam kelompok HS27. Kontributor selanjutnya adalah ekspor lemak dan minyak hewan nabati terutama CPO dalam kelompok HS15, serta barang besi dan baja yang masuk dalam kelompok HS72.
“Komoditas penyumbang surplus utama adalah bahan bakar mineral terutama batu bara, juga lemak dan hewan nabati terutama CPO, serta barang besi dan baja,” ungkap Amalia.
Surplus Tapi Menyusut
Kendati begitu, rupanya surplus pada Juli 2023 dikabarkan menyusut jika dibandingkan dengan surplus Juni 2023, yakni sebesar US$3,45 miliar. Hal ini berarti, capaian tersebut menurun 2,14 persen secara bulanan.
Tak hanya itu, angka tersebut ternyata juga mengalami penurunan yang besar jika dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun sebelumnya. Pada Juli 2022, BPS mencatat neraca dagang mengalami surplus sebesar US$4,23 miliar.
"Surplus Juli 2023 ini lebih rendah dibandingkan dengan bulan sebelumnya dan bulan yang sama pada tahun lalu," beber Amalia.
Nilai ekspor dan impor Indonesia dikabarkan anjlok secara tahunan. BPS mencatat nilai ekspor Juli 2023 mencapai US$20,88 miliar, menurun 18,3 persen yoy jika dibandingkan dengan Juli 2023 sebesar US$25,47 miliar. Sementara nilai impor Indonesia pada Juli 2023 tercatat sebesar US$19,56 miliar, turun 14,1 persen yoy jika dibandingkan dengan Juli 2022 sebesar US$21,34 miliar.
Surplus Bukan Prestasi
Wakil Direktur Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto melihat neraca dagang Indonesia yang surplus pada Juli 2023 bukanlah sebuah prestasi yang bisa dibanggakan. Mengingat, walaupun neraca dagang surplus, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih belum mencapai target.
“Saya melihat ketika kita mengalami surplus namun pertumbuhan ekonomi kita tahun ini katakanlah hanya di puncaknya 5,17 persen, ya sebetulnya itu bukan prestasi karena kita mendesain APBN di tahun ini dengan defisit sekitar 2,84 persen terhadap PDB. Itu tujuannya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,3 persen di APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” ujarnya dilansir dari kanal YouTube CNBC Indonesia, Rabu (16/8/2023).
Ia melanjutkan, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen tersebut tampaknya akan sulit untuk dicapai. Hal tersebut ia katakan sebab saat ada momentum yang seharusnya bisa memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia, seperti hari raya Idulfitri dan Iduladha, rupanya peningkatannya cenderung lemah.
“Nah, sepertinya angka ini akan sulit dicapai. Kenapa? Karena triwulan kedua kemarin ya, sudah ada momentum Lebaran, bahkan di akhir Juni ada Iduladha, tapi nyatanya ekonomi kita sebetulnya tidak terlalu akselerasi. Hanya tumbuh 5,17 persen,” ungkapnya.
Eko juga mengatakan bahwa surplus neraca dagang Indonesia tersebut wajar. Mengingat penerimaan negara yang kian naik, sementara realisasi belanja negara justru cenderung menurun.
“Ini belanja pemerintah sebetulnya seret kalau saya bilang. Jadi, malah menurun begitu. Wajar saja ketika penerimaan negara naik, terus belanjanya turun, yang terjadi sebetulnya adalah surplus,” pungkasnya.
Untuk diketahui, Kementerian Keuangan melaporkan realisasi belanja negara hingga Juli 2023 mencapai Rp1.461,2 triliun atau 47,7 persen dari APBN. Sementara dari sisi pendapatan negara mencapai Rp1.614,8 triliun atau 65,6% dari target APBN 2023.
Senada, anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun menilai surplus neraca dagang Indonesia ini tidak boleh dijadikan sebagai sebuah ukuran untuk menilai kinerja pemerintah. Ia mengatakan surplus wajar terjadi karena penerimaan negara naik, sementara pengeluaran negara cenderung masih rendah pada Juli 2023.
“Di dalam kinerja APBN 2022 sampai Juli, belanja itu 47,7%. Artinya apa? Di bulan ketujuh, masih tersisa sekitar lima bulan lagi, harusnya kalau Juli kan idealnya harus sudah 50%. Sementara, dari sisi penerimaan kita sudah mencapai 65,6%. 65,5% secara year on year itu peningkatannya sekitar 4,1%. Ada ketidakseimbangan, yang satu sudah meningkat sampai penerimaanya 65,6%, belanjanya masih 47,7%. Pasti surplus, jangan menilai ini sebagai kinerja,” tuturnya.
Ia menambahkan, realisasi belanja APBN Indonesia dari tahun ke tahun jarang sekali mencapai angka 100%. Hal tersebut ia artikan bahwa Indonesia tidak pernah memperbaiki kinerja belanjanya.
“APBN kita ini kan selalu realisasinya 93%, 95%, 97%, jarang APBN sampai 99,9%, itu jarang sekali. Ini adalah catatan tersendiri bahwa dari dulu kita tidak pernah memperbaiki kinerja belanja,” tukasnya.
Baca Juga: Ekonom Ungkap Alasan Subsidi Tiket KCJB Tak Tepat, dari Bebani APBN hingga Kental Nuansa Politis
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti