Beberapa pekan terakhir, sejumlah Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah terbakar hebat di sejumlah tempat. Beberapa di antaranya yang cukup luas diberitakan antara lain, TPA Sarimukti di Bandung, lahan bekas TPA Panembong di Subang, Pasir Bajing di Garut, Randengan di Mojokerto, Putri Cempo di Solo, dan Jatibarang di Semarang. Bila diurut lagi ke belakang, daftarnya bisa lebih panjang.
Sepanjang musim kemarau saat ini belum diketahui kapan rentetan kebakaran TPA sampah akan berakhir, potensi kebakaran TPA tampaknya akan terus membayangi dalam beberapa waktu ke depan.
Agak miris, momen maraknya kebakaran TPA kali ini waktunya bersinggungan pula dengan semaraknya kegiatan tahunan bersih-bersih sampah oleh relawan World Cleanup Day (WCD) Indonesia, yang puncaknya dilakukan massal secara nasional pada 17 September 2023. Relawan WCD Indonesia bahkan diklaim sebagai yang terbanyak di dunia (40 persen dari relawan WCD dunia) dan WCD Indonesia menjadi role model bagi pelaksanaan WCD di berbagai negara. Sayangnya, upaya positif ini ternodai kebakaran TPA sampah yang marak di mana-mana, sepanjang Agustus hingga September tahun ini.
“Berbagai kebakaran TPA yg terjadi bisa dikatakan paket combo faktor cuaca dan 'comorbidity' (kondisi yang hadir bersamaan) operasional TPA yang tidak sesuai ketentuan,” kata Dini Trisyanti, aktivis persampahan dari Sustainable Waste Indonesia (SWI), saat ditemui di Jakarta (20/9).
“Percikan api berkontak dengan sampah combustible (mudah terbakar), menjalar cepat karena tidak tertahan lapisan tanah, memantik gas metana didalam timbunan, hingga mencapai titik yg sulit padam kecuali kandungan sampah dan gas combustible-nya habis, atau alam menurunkan hujan deras dalam waktu yg lama.”
“Jika kebakaran TPA dikatakan karena percikan api puntung rokok bisa jadi itu benar. Jika disebut juga kebakaran sulit padam karena adanya gas, tentu itu juga benar,” kata Dini menambahkan.
“Tapi jika aturan lapisan tanah penutup dilakukan dengan benar, belum tentu percikan api dari luar akan langsung kontak dengan sampah yang combustible, karena lapisan tanah bersifat inert (tidak reaktif). Jika ada sistem penangkapan gas metana yg baik, mungkin pemadamannya tidak perlu waktu hingga berhari-hari,” katanya lagi.
Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022, hasil input dari 202 kab/kota se Indonesia menyebut jumlah timbulan sampah nasional mencapai angka 21,1 juta ton. Dari total produksi sampah nasional tersebut, 65,71% (13,9 juta ton) bisa terkelola, sedangkan sisanya 34,29% (7,2 juta ton) belum terkelola dengan baik.
Sampah plastik berupa kemasan kecil, dari sachet shampoo, bungkus mie instan, kemasan gelas plastik hingga botol air minum, ikut memperparah jumlah timbulan sampah dan menjadi tambahan bahan bakar di lokasi TPA sampah.
Masalah ini semakin diperburuk dengan pola tradisional pengelolaan sampah masyarakat yang hanya dilakukan dengan cara: “kumpul - angkut – buang”. Para pegiat lingkungan sejak lama sudah menyarankan agar cara ini harus ditinggalkan dan masyarakat juga perlu terus diedukasi untuk mulai mengubah perilaku pengelolaan sampah rumah tangga. Praktiknya bisa dimulai dengan upaya pilah dan pilih sampah di rumah, hingga menerapkan gaya hidup 3R (reduce, reuse, recycle).
Menurut Dini, melihat kondisi TPA sampah yang ada sekarang, maka tidak butuh peramal atau ilmuwan hebat untuk memprediksi potensi kebakaran. Dini mengatakan, kebakaran di TPA sejatinya adalah kecelakaan kerja yang sudah diantisipasi dalam berbagai literatur, karena ada ketentuan yg berlaku utk seluruh fasilitas ini.
“Penutupan lapisan tanah, pengaturan gas, pengaturan lindi (cairan dari timbulan sampah yang dapat mencemari lingkungan), adalah sebagian dari ketentuan tersebut,” katanya. “TPA adalah fasilitas yg memiliki peran vital untuk publik, sekaligus menggenggam resiko insiden yg besar, karena adanya gas dan material yang combustible didalamnya.”
Lebih jauh Dini mengatakan, sejak UU 18 th 2008, semua pihak terkait sebenarnya sudah sepakat mengganti singkatan Tempat Pembuangan Akhir menjadi Tempat Pemrosesan Akhir.
“Tidak lain karena semangatnya kita harus berubah, dari pembuangan terbuka menjadi lahan urug yang saniter atau terkontrol, yang comply (tunduk) terhadap ketentuan teknis yg dimandatkan. Bahkan ada pasal yg mengatur jangka waktu 'pengampunan' TPA yg masih open dumping, yaitu Pasal 44, yang mestinya berakhir thn 2013. Namun kenyataannya, hingga 15 tahun UU18 ini lahir, kondisi TPA masih memprihatinkan,” katanya prihatin.
Mau tidak mau, maraknya kebakaran TPA sampah ini belakangan memunculkan banyak pertanyaan dan gugatan. Apakah kebakaran TPA termasuk bencana? Ataukah kebakaran ini merupakan kelalaian yang ada sanksi pidananya sesuai UU 18 Pasal 41?
“Jika ditarik lebih panjang, apakah kita sudah melaksanakan amanat mengubah Tempat Pembuangan Akhir menjadi Tempat Pemrosesan Akhir, bukan hanya sebatas mengganti istilah?,” kata Dini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: