Pada awalnya, tidak ada bayangan usaha ecoprint akan memberikan dampak ekonomi bagi Emiliani (40) dan warga sekitar rumahnya di RT 9 Desa Karya Jaya, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara.
Tidak ada yang instan. Butuh proses, kerja keras, bahkan pengorbanan waktu dan tenaga hingga materi. Itulah yang dilakukan Emiliani, wanita pemilik Kriya Ecoprint Bruwun Geulis.
Produk kain ecoprint dan shibori hasil buah tangan para pengrajin di Desa Karya Jaya, Samboja makin dikenal masyarakat khususnya di Kabupaten Kukar. Apalagi ada kekhususan dengan keunggulan lokal. Mereka memanfaatkan warna alami ecoprint dari kayu Ulin dan Bajakah. Kayu khas yang ada di Kalimantan khususnya Kaltim.
Baca Juga: Sambut Hari Batik Nasional Pelaku UMKM Butuh Fasilitas Pameran Guna Naikan Pasar.
Buah tangan Kriya Ecoprint Bruwun Geulis ini menjadi pembeda dari produk ecoprint dari daerah-daerah lainnya termasuk Yogjakarta.
Emiliani mengatakan, butuh kesabaran dan rela berkorban untuk mengenalkan Kriya Ecoprint kepada warga sekitar rumah termasuk kepada pemangku kepentingan di Kabupaten Kukar.
“Saya ikut pelatihan, menularkan ilmu pelatihan mendirikan Bruwun Geulis, sampai menjadi model dari karya kami,” tutur Emiliani yang akrab disapa Emi, Senin (2/10/2023).
Emi bahkan memberikan keyakinan bahwa karya ini akan mendatangkan manfaat ekonomi keluarga bagi warga yang juga anggota Bruwun Geulis. Dia pun rela merogoh kocek pribadi demi mengenalkan hasil karya terutama ke kalangan Pemerintah Kabupaten Kukar.
”Awalnya saya diajak Pak Didi dari Kagama tahun 2022 bulan Maret di Woody tempatnya Pak Didi (Balikpapan). Saya bilang ini bisa menjadi nilai uang. Waktu pulang saya menggebu-gebu banget. Jadi kalau kelompok saya tidur saya teriak ini ada nilai uangnya,” tuturnya.
Untuk mengenalkan Kriya Ecoprint, dia dibantu anggotanya melakukan roadshow ke dinas-dinas yang ada di Pemkab Kukar. Caranya dengan memberikan produk secara cuma-cuma. Upaya ini tidak sia-sia. Pada akhir 2022, produk Brewen Geulis mulai dikenal kalangan pemerintahan.
“Setelah enam bulan kadang saya pakai uang pribadi saya beli, saya kasihkan ke dinas-dinas,” cerita Emiliani sambil menyebut Kriya Ecoprint Brewen Geulis memiliki sembilan orang anggota.
“Kalau semua anggota sedang sibuk bekerja, maka saya akan mengerjakan produk-produknya setelah pulang dari bekerja,” tuturnya.
Apa yang dilakukan Emiliani bersama anggota, produknya memang masih skalanya kecil. Namun, yang membuat Emiliani tersenyum lebar adalah karya ecoprint justru dibeli oleh orang-orang dari luar Kaltim.
Bruwun Geulis yang dikelola Emiliani mendapatkan kepercayaan dari Pertagas untuk menjadi panitia penyelenggara pelatihan pada 7-11 Agustus 2023 lalu di Aula Kecamatan Samboja, Kabupaten Kukar.
Dia juga mengikutsertakan lima anggotanya ikut hadir dalam pelatihan ecoprint. Pelatihan ini diikuti 60 peserta. Peserta kebanyakan ibu-ibu yang juga aktif di PKK, termasuk PKK desa Karya Jaya, Samboja.
Pelatihan dari Pertagas ini makin menyemangati Emiliani dan anggota untuk terus berusaha memperkenalkan ecorprint. Bahkan Emiliani mulai membentuk kelompok baru guna membantu rumah produksi yang makin banyak pesanan.
“Anggota saya ada sembilan. Yang dua masih saya suruh mandiri sambil mencari anggota baru untuk membuat kelompok baru. Jadi, saya tinggal keliling dari satu kelompok ke kelompok lainnya,” ucapnya.
Dengan kelompok atau mitra yang dibentuknya melalui pelatihan ecoprint ini, Emiliani mengaku sangat terbantu. ”Jadi saya bisa ambil produk dari mereka,” ungkapnya.
Pasar ecoprint menurutnya masih terbuka luas. Meskipun tidak pesat, namun pemesanan selalu ada. Bahkan permintaan konsumen terkadang belum bisa dipenuhi karena terbatasnya anggota.
Soal harga, Emiliani juga tidak terlalu kaku. Apalagi pembeli merupakan pelaku usaha yang akan kembali menjual produknya.
“Skala produksi sekitar 30 kain dalam satu bulan, omzet ya lumayan, alhamdulillah. Rata-rata banyak pesanan dari luar daerah berupa kain. Bahkan ada pesanan dari Yogyakarta pesan kain jenis warna ulin lima kain. Saya jual tetap harga sama, Rp350 ribu, tapi ada yang saya kasih Rp250 ribu karena dia mau jual lagi,” jelasnya.
Bahkan, Emiliani menyebut omzet tiga bulan terakhir atau semester pertama 2023 ini terbilang bagus. Setiap bulan terjual sekitar 30 lembar kain ecoprint. Dengan modal sekitar Rp150 ribu, bisa dijual dengan harga Rp350 ribu.
Untuk produk jadi ecoprint yang berbentuk baju dijual dengan harga kisaran Rp450 ribu. Namun, saat sedang pameran, dia memberikan diskon.
“Paling tinggi pernah dijualnya seharga Rp650 ribu. Ada kualitas, ada harga karena pengerjaannya juga lebih lama. Dan mereka yang sudah (tahu) produk terbatas biasa membeli produk kita,” ucapnya.
Emiliani tidak khawatir jika produknya gagal dalam membuat motif ecoprint ini. Sebab produk gagal dapat dimanfaatkan kembali dengan membuat produk lainya dari bahan yang gagal.
“Belum lagi kalau produk saya bisa dikatakan gagal, jadi saya punya solusi saya bikin topi, dompet, tas, saya kembangkan lagi di situ. Jadi saya jual produk jadi,” ungkapnya.
"Insyaallah nanti pas hari ibu, kita mau ngadain lomba fashion show untuk ibu dari perwakilan kelurahan atau desa untuk melihat perkembangan dari pelatihan kemarin," ungkapnya.
Sebelumnya, Emiliani hanya berdagang buket dan baju biasa saja. Namun, setelah membuat produk ini laku dijual, sekarang dia bangga menggunakan produknya.
“Yang jelas dari awal saya mengenalkan ecoprint ke warga Samboja, terus saya beranikan diri membuat fashion show di Expo tahun 2022, nah di situ saya banyak dilihat sama instansi. Setelah itu ada lomba inovasi desa tingkat kabupaten, saya ikut, alhamdulillah saya juara satu,” katanya.
Setelah juara satu, banyak instansi yang berkunjung. Kemudian dibawa ke tingkat Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).
“Ternyata peminat ecoprint itu banyak dan laku keras. Memang awalnya produksi enam bulan saya enggak jualan, saya kasihkan ke bupati, ke kepala dinas-dinas, saya kasih produk saya. Saya kasih kain, ada juga saya kasih ke ibu-ibu Dharma Wanita,” terang Emiliani yang menjadi model saat memperkenalkan karyanya.
Ecoprint merupakan teknik cetak menggunakan bahan alami ramah lingkungan seperti bunga, daun yang memiliki corak atau motif, dicetak di atas media kain katun atau sutra. Bahkan di Kaltim termasuk Samboja selain menggunakan warna alami dari Secang, juga dapat memanfaatkan warna kayu Ulin dan Bajakah.
Dalam seni ecoprint terdapat teknik pounding (dipukul), teknik miror atau teknik steaming (dikukus), dan teknik fermentasi daun. Sedangkan shibori, prosesnya lebih sederhana yakni teknik pewarnaan yang mengandalkan ikatan dan celupan.
Terkendala Modal, Berharap Ada Pembinaan Lanjutan
Seorang peserta pelatihan ecoprint dan shibori yang diselenggarakan Pertagas sekaligus anggota Kriya Bruwun Geulis, Resiani (46) mengaku sudah mulai sedikit mandiri membuat ecoprint sederhana, tapi baru sebatas untuk keperluan sendiri.
Untuk mendirikan usaha sendiri tentu saja membutuhkan modal yang tak sedikit untuk menciptakan produk ecoprint. Dia berharap ada pembinaan lanjutan dari Pertagas. Sebab selama ini, pengembangan ecoprint terkendala pada permodalan.
Katanya, modal yang harus dimiliki cukup besar. Untuk dua lembar kain butuh Rp240 ribu, belum lagi untuk pewarna. Biasanya untuk produksi ecoprint minimal 10 lembar kain dengan modal Rp1 juta.
“Minimal Rp1 juta sekali produksi. Sebab proses produksinya lama, belum mordan kain. Kalau dua lembar rugi belum gas dan tenaganya,” jelasnya ketika dihubungi pada Senin (2/10/2023).
Mordan adalah proses pembuangan atau menghilangkan bahan kimia yang ada pada kain pabrikan.
“Mordan itu butuh empat hari, setelah itu baru bisa dicetak untuk ecoprint. Kalau enggak dimordan dulu, ecoprint enggak jadi. Daun enggak mau nempel di bahan,” terangnya.
Jika hasil ecoprint sesuai motif, warnanya sempurna dan bagus, maka harga jual per kain biasanya laku Rp350 ribu per lembar kain.
“Belum lagi kan prosesnya lama. Kalau buat sedikit untuk kita jual pasti rugi, tapi kalau sekalian, bisa menutup ongkos produksinya,” ujarnya.
Meski demikian, Resiani mengaku bekal pelatihan yang diberikan Pertagas dan pengalaman di Bruwun Geulis menjadi modal dasar yang sangat bermanfaat.
“Setidaknya saya dapat bikin kain ecoprint untuk pakai sendiri walaupun belum sempurna betul. Masih banyak kekurangan dan perlu berlatih terus untuk belajar, tapi lumayan untuk pakai sendiri kalau beli yang sudah jadi kan mahal,” tuturnya.
Selain itu, Resiani juga sedang mencoba membuat warna dari buah pinang termasuk kayu ulin. Sebelumnya dia menggunakan serbuk kayu ulin dan secang.
“Saya ikut bu Emi sudah bikin perwarna secang, ulin, tapi nanti saya coba buat pewarna dari buah pinang dan kayu ulin. Kalau kemarin saya buat dari serbuk ulin, tapi warna jadi abu-abu,” ungkap Resiani yang tinggal di RT 5 Kelurahan Tanjung Harapan, Kecamatan Samboja.
Warna Alami Ulin Bisa Masuk Katalog Pewarnaan
Pelatihan ecoprint dan shibori digelar Pertagas pada Agustus 2023 lalu bekerja sama Kemenparekraf dan Kagama Kaltim. Pertagas memboyong pelatih dari Among Gadhong asal Magelang.
CSR Pertagas, Yedo Kurniawan mengatakan kegiatan yang diinisiasi Pertagas itu bertujuan untuk meningkatkan kreativitas masyarakat khususnya dalam kriya pembuatan ecoprint dan shibori.
“Targetnya adalah ingin menopang perkembangan IKN dengan menonjolkan kreativitas dari warga. Sehingga, desa yang ada di Kecamatan Samboja menjadi salah satu desa tujuan masyarakat untuk mencari produk masyarakat, sehingga berimbas pada peningkatkan ekonomi masyarakat,” jelasnya saat pelatihan di Aula Kecamatan Samboja.
Pelatihan tidak berhenti di sini, tapi Pertagas akan melakukan pembinaan lanjutan terutama mengembangkan warna khas kayu ulin.
“Target kita yaitu melakukan pembinaan, kemudian akan kami lakukan pendampingan di tahun depan, sehingga next step, kain ini tidak hanya di step satu, melainkan ada peningkatan dan ada nilai jual dan menjadi mitra kami ke depannya,” jelasnya.
Menurut dia, alasan memilih Samboja dalam pengembangan ecoprint dan shibori tersebut dikarenakan Samboja menjadi salah satu ring Pertagas. Kemudian, Samboja juga menjadi ring 1 IKN.
“Potensi ini memanggil kami agar masyarakat punya nilai jual untuk hasil kriyanya khususnya dalam ecoprint dan shibori karena ada warna khas yang bisa dikembangkan di sini,” imbuhnya.
Diharapkan melalui kegiatan ini, ibu-ibu yang ada di Samboja memiliki tambahan kemampuan dengan keahlian yang diberikan. Dengan demikian, akan membantu perekonomian rumah tangganya, kemudian menambah penghasilan keluarga.
Didi Anggrad selaku Ketua Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) Kaltim mengungkapkan ada pembeda ecoprint di Kaltim. Pewarna ecoprint biasanya merupakan pewarna yang dikenal oleh masyarakat dan sudah umum. Akan tetapi di Kaltim mempunyai tanaman endemik yang menghasilkan warna. Itu hal yang baru.
“Sudah tanamannya endemik dan warnanya juga khas, yang tidak ada di pewarna-pewarna lain. Tanamanya ada dua, yaitu tanaman pohon Ulin dan tanaman Bajakah,” ucapnya.
Dia berharap pewarna alami ini masuk dalam katalog pewarna nasional. Yang akan menambah kekhasan ecoprint asal Kaltim.
“Syukur ini ke depan menjadi katalog pewarna nasional bahkan internasional. Bahwa ada dua pewarna khas endemik dari Kaltim. Ini yang sebetulnya nilai ecoprint, nilai shibori khas dari Kaltim,” kata Didi.
Di samping itu, keunggulan lain dari pewarna ini adalah hanya memanfaatkan limbah dari bekas kayu Ulin, dan dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan nilai ekonomis.
Hal senada juga diungkapkan pelatih dari Among Godhong, Retno Setia Ningsih. Dia menambahkan, kegiatan ini untuk membantu warga Samboja secara bersama-sama mengangkat potensi lokal yang ada. Sebab di Kaltim ada pewarna Ulin, yang tidak ada di tempat lain.
“Jika warna ini diangkat, ini akan menjadi khas produk Kaltim. Jadi punya ecoprint khas Kaltim yang tidak ada di tempat lain,” bebernya saat pelatihan Agustus lalu.
Retno berharap warna khas Kaltim bisa semakin banyak dikenal orang. Hal itu telah dirinya buktikan dalam dua tahun terakhir ini bahwa produk pewarna Ulin luar biasa.
“Secara kualitas pewarna itu sangat bagus karena kita sudah uji produk. Sudah kami pakai selama dua tahun dan luar biasa bagus,” tuturnya.
Secara khusus, Retno memberikan apreasiasi kepada Emiliani, pemilik Bruwun Geulis yang ikut menyebarkan pengetahuan ecoprint kepada warga di Kelurahan Karya Jaya, Samboja.
Menurutnya, masih perlu ada perbaikan dengan inovasinya, sehingga kualitas ecoprint Samboja makin membaik ke depannya.
“Tapi dari semangat berkarya, saya yakin ke depan akan semakin baik. Makanya saya bilang harus banyak berinovasi,” pesannya.
Baca Juga: Tokoh NU Apresiasi Pengukuhan KSAD Jenderal Dudung sebagai Bapak UMKM Umat
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Aliev
Editor: Rosmayanti