Asosiasi dan KADIN Jatim Tolak Pasal Pengamanan Zat Adiktif di RPP UU Kesehatan
Sebanyak 38 Asosiasi Pertembakauan bersama Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Jawa Timur menyepakati petisi penolakan atas keberadaan pasal-pasal pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau di Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan pelaksana dari Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 (UU Kesehatan).
Ketua KADIN Jawa Timur, Adik Dwi Putranto, mengatakan berbagai pemangku kepentingan di ekosistem pertembakauan memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mengeluarkan pasal-pasal terkait tembakau dari RPP Kesehatan dan telah sepakat untuk menolak seluruh bentuk pelarangan yang mendiskriminasi produk tembakau.
Sebagai bentuk penolakan terhadap praktik penyusunan pasal-pasal diskriminatif bagi eksosistem pertembakauan yang akan berdampak pada 6 juta masyarakat.
Dengan kondisi tersebut, maka seluruh pihak terkait mendorong adanya petisi penolakan pasal-pasal pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau dalam RPP Kesehatan.
“Petisi ini dikirimkan ke Presiden Jokowi sebagai sebuah permohonan agar regulasi yang akan mengancam keberlangsungan ekosistem pertembakauan nasional segera dihentikan pembahasannya dan dikeluarkan dari RPP Kesehatan,” ujar Adik dalam keterangan tertulis yang diterima, Jumat (6/10/2023).
Baca Juga: Asosiasi Tembakau Alternatif Sepakati Pakta Integritas Sesuai Pedoman WHO
Adik mengatakan, pada kkegiatan Sarasehan tersebut, seluruh asosiasi ekosistem pertembakauan dari hulu ke hilir sepakat bahwa pasal-pasal pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau yang diusulkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) di RPP Kesehatan sarat pelarangan total bukan bersifat pengendalian seperti yang diamanahkan oleh UU Kesehatan.
“Perumusan kebijakan tembakau harus dilakukan secara arif, adil, bijaksana, dan melibatkan pemangku kepentingan terdampak sehingga peraturan yang dihasilkan bisa dilaksanakan secara implementatif dan komprehensif,” ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menilai pasal-pasal tersebut menimbulkan banyak pertentangan dan mengancam masa depan ekosistem pertembakauan.
Dimana, aturan tersebut dinilai sarat dengan agenda internasional, yakni agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC)yang dirancang untuk membentuk aturan global atas pengendalian tembakau yang bersifat pelarangan total.
“Jika dilihat dari klausul aturan yang ada di RPP, fokusnya itu pelarangan total bukan pengendalian. Jadi, sudah jauh melenceng dari UU Kesehatan itu sendiri. RPP ini adalah upaya menyelundupkan FCTC oleh birokrat-birokrat yang anti tembakau. Kepentingan nasional jelas akan terganggu,” ujar Misbakhun.
Baca Juga: Petani Tembakau Lawan Wacana Pemerintah Jokowi Implementasi RPP UU Kesehatan
Misbakhun juga mempertanyakan tentang banyaknya pelarangan produk tembakau di RPP Kesehatan.
“Bagaimana bisa aturan pelaksana UU Kesehatan mengatur sampai aktivitas jual beli? Saya menilai RPP ini mengalami kondisi over kewenangan. RPP kan harusnya melaksanakan (dari aturan UU Kesehatan), tapi ini mengatur ulang seluruhnya. Kalau ini terjadi, hak hidup rakyat yang seharusnya dijamin konstitusi jadi sangat terancam," ucapnya.
Disisi lain, Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menegaskan industri hasil tembakau adalah industri padat karya dan padat regulasi.
Saat ini, ada lebih dari 500 peraturan bagi industri hasil tembakau dengan mayoritas adalah pembatasan (89,6%). Ia merinci ada 341 aturan di tingkat kabupaten/kota dan 259 dalam bentuk peraturan bupati atau peraturan walikota.
“Dan sekarang ditambah lagi dengan pengaturan seperti RPP yang penuh larangan dan membuat tumpang tindih. RPP akan membuat industri hasil tembakau makin terpuruk. Kami mohon pemerintah mengevaluasi RPP ini,” ujar Henry.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: