Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        8 Tahun Konsisten Menjaga Bumi Tetap Layak Huni

        8 Tahun Konsisten Menjaga Bumi Tetap Layak Huni Kredit Foto: Cahyo Prayogo
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Generasi muda menghadapi ancaman nyata dari persoalan krisis iklim. Tanpa upaya serius menurunkan emisi gas rumah kaca, generasi mendatang bakal menanggung beban berupa bumi yang tak layak huni.

        Memori Adhitya Putra Lanae, pendiri Climate Institute, kembali ke tahun 2015 ketika mengenang awal perjuangan dirinya menyuarakan isu-isu lingkungan. Pada tahun tersebut ia terpilih menjadi salah satu pemenang dalam lomba karya tulis lingkungan yang dilaksanakan oleh Friedrich Naumann Foundation, sebuah non-governmental organization (NGO) asal Jerman.

        “Saya bersama rombongan 20 pemenang lomba karya tulis dari seluruh Indonesia diberangkatkan ke Bali untuk diikutsertakan dalam workshop climate change tingkat internasional,” katanya kepada Warta Ekonomi di Jakarta, Selasa (31/10/2023).

        Baca Juga: Capres-Cawapres Minim Angkat Isu Perubahan Iklim, Parpol dan Caleg Diharapkan Ambil Bagian

        Kehadiran Adhitya di lokakarya tingkat internasional tersebut semakin menggugah kesadaran dirinya betapa krisis iklim merupakan ancaman nyata bagi generasi muda. Krisis iklim bukan sekadar ancaman masa depan bagi generasi mendatang, tetapi juga ancaman bagi generasi muda saat ini. Dampak krisis tersebut telah menempatkan generasi muda di seluruh dunia dalam situasi iklim yang buruk.

        Laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) tahun 2023 menyebutkan krisis iklim semakin  memperburuk situasi masyarakat dunia yang dilanda kelaparan, kemiskinan, kondisi kesehatan buruk, hingga kesulitan air bersih dan energi. WMO menambahkan, selama periode tahun 1970 dan 2021 telah terjadi 12.000 bencana akibat krisis iklim yang menyebabkan lebih dari dua juta kematian dan kerugian ekonomi sebesar US$4,3 triliun.

        Adapun, Bank Dunia melaporkan pada tahun 2021 bahwa negara Indonesia berada dalam situasi kerentanan tinggi terkait dampak krisis iklim. Risiko krisis iklim terhadap negara Indonesia bisa menyebabkan kerugian ratusan triliun rupiah hanya dari sektor pertanian dan kesehatan.

        Mengantisipasi ancaman nyata akibat krisis iklim, pada tahun 2015 Adhitya bersama empat rekan memutuskan untuk membentuk organisasi bernama Climate Institute. Ia mengharapkan organisasi ini bisa memfasilitasi anak-anak muda dalam memperluas wawasan tentang lingkungan dan krisis iklim sekaligus mengubah perilaku mereka agar lebih berorientasi lingkungan.

        “Climate Institute memiliki mimpi besar yakni anak-anak muda Indonesia bisa mengubah perilaku dan kebiasaan mereka untuk selalu pro-lingkungan dalam menjalani kegiatan sehari-hari,” tuturnya.

        Meski demikian, perjalanan Adhitya bersama Climate Institute mewujudkan masyarakat Indonesia yang berperilaku pro-lingkungan ternyata tidak mudah. Ada banyak tantangan yang dihadapi mulai dari persoalan dana hingga sikap antipati pemuda lain.

        Beribu Tantangan

        Pria kelahiran Baubau, Sulawesi Tenggara, ini mengakui masih ada segelintir masyarakat Indonesia yang belum memiliki kesadaran lingkungan. Bukan hanya tak memiliki kesadaran, ada segelintir orang yang menganggap remeh persoalan lingkungan dan bersikap antipati terhadap upaya-upaya meningkatkan kesadaran lingkungan.

        “Ada saja anak muda yang bilang ke saya kenapa sih kamu capek-capek dengan isu sepele seperti itu? Orang-orang sudah tahu kali,” kisahnya.

        Berdasarkan hasil survei Populix tahun 2022, sekitar 30 persen masyarakat Indonesia belum memiliki kesadaran dengan masalah perubahan iklim. Adapun hasil survei KedaiKOPI tahun 2021 melaporkan bahwa sekitar 22,6 persen anak muda di Indonesia tak tertarik dengan isu lingkungan.

        Adhitya menambahkan, ketidakpedulian anak muda terhadap isu lingkungan akan tercermin dalam perilaku mereka sehari-hari. Ia mengaku kerap melihat anak muda yang meninggalkan sampah makanan berserakan di meja restoran, bioskop, atau taman. Perubahan perilaku individu dalam tataran mikro penting untuk mengubah perilaku masyarakat dalam tahap yang lebih makro.

        “Selama sampah masih banyak berserakan di taman, kampus, bioskop, maka itu berarti masih banyak individu yang belum konsisten. Kadang ada yang berkata, nanti juga ada petugas yang membersihkan,” tuturnya.

        Pria lulusan Universitas Indonesia ini menyadari perubahan perilaku tak bisa dilakukan dalam waktu instan. Oleh karena itu, ia tak kaget apabila ada penolakan-penolakan yang dilakukan oleh anak muda ketika dirinya melakukan edukasi terkait perubahan perilaku agar pro-lingkungan.

        "Kebiasan tinggalkan saja sampahnya karena nanti ada yang membersihkan itu perlu diubah secara bertahap," sebutnya.

        Untuk meningkatkan kesadaran dan mengubah perilaku anak muda agar pro-lingkungan, Climate Institute menyiapkan beberapa program seperti diskusi publik, lokakarya daur ulang sampah, seminar, membersihkan sampah plastik, hingga program penanaman mangrove.

        Ia menyampaikan, setiap bulan Climate Institute mengadakan dua sampai tiga kali seminar atau lokakarya di kampus dan kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Ia sudah menyambangi banyak kota di Indonesia mulai dari Medan, Bogor, Bali, Nusa Tenggara Timur, hingga Nusa Tenggara Barat.

        “Kita memiliki lebih dari 1.000 alumni yang tersebar di seluruh Indonesia,” sebutnya.

        Ia menjelaskan, program-program tersebut bersifat nonprofit dan diselenggarakan tanpa biaya untuk peserta. Climate Institute mendapat dukungan pendanaan dari pihak luar untuk mengadakan kegiatan-kegiatan tersebut. Selama enam tahun ini Friedrich Naumann Foundation terus rutin dan konsisten mengucurkan pendanaan kepada Climate Institute.

        “Untuk menjalankan misi besar, kami harus mencari dukungan donatur-donatur dari luar negeri. Donatur kami percaya Climate Institute mampu mengedukasi pemuda-pemudi di Indonesia untuk memiliki wawasan tentang krisis iklim dan lingkungan,” tegasnya.

        Baca Juga: Dekarboniasi Industri adalah Kunci Atasi Perubahan Iklim Demi Indonesia Emas 2045

        Selalu Optimis

        Perjalanan Adhitya bersama Climate Institute selama delapan tahun ke belakang ini memang berliku. Terkadang, penolakan dan sindiran dari anak muda lain membuat semangat juang agak turun. Akan tetapi, ia terus bangkit untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan edukasi lingkungan.

        Ia mengaku optimis bahwa akan semakin banyak anak muda di Indonesia yang memiliki kesadaran terhadap lingkungan. Selain itu, ia percaya anak muda Indonesia perlahan tapi pasti akan mulai menerapkan perilaku pro-lingkungan.

        “Saya sangat optimis,” katanya.

        Apalagi, perjalanan Adhitya bersama Climate Institute tak selalu soal penolakan dan air mata. Ada sangat banyak pengalaman menarik dan menyenangkan yang didapatkan selama melakukan edukasi ke daerah-daerah. Ia mengisahkan program penanaman mangrove di Semarang menjadi salah satu pengalaman yang berkesan karena antusiasme warga terhadap isu lingkungan sangat tinggi.

        “Penanaman mangrove di Semarang sangat berkesan sekali. Warga antusias datang,” kisahnya.

        Oleh karena itu, ia memastikan Climate Institute akan terus konsisten memperjuangkan kesadaran dan perilaku pro-lingkungan demi menjaga bumi tetap layak huni. Generasi muda di Indonesia saat ini memiliki tanggung jawab atas kehidupan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

        “Kami berkomitmen mengubah perilaku masyarakat dan akan terus memastikan agar mereka menjalankan perubahan perilaku itu,” pungkasnya.

        Penulis: Cahyo Prayogo

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Amry Nur Hidayat

        Bagikan Artikel:

        Berita Terkait