Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Makanan Ramah Lingkungan, Solusi Krisis Pangan?

        Makanan Ramah Lingkungan, Solusi Krisis Pangan? Kredit Foto: Istimewa
        Warta Ekonomi, Yogyakarta -

        Members of Biotechnology & Seeds – Croplife Indonesia Fadlilla Dewi Rachmawati mengatakan, bioteknologi memiliki peran yang sangat penting dalam sektor pertanian. Hal ini tak terlepas dari potensinya untum menciptakan ekosistem keberlanjutan hingga mengatasi krisis pangan akibat perubahan iklim.

        Menurutnya, rekayasa genetika benih tanaman yang adaptif terhadap perubahan iklim dan pemanasan global sangat dibutuhkan guna menjaga stabilitas pangan agar terhindar dari krisis pangan global.

        Baca Juga: Soroti IKN Kebanggaan Jokowi, Anies Baswedan: Bangun Kota di Tengah Hutan Menimbulkan Ketimpangan

        “Rekayasa benih pangan dengan bioteknologi, salah satu solusi bagi dunia pertanian dalam menghadapi perubahan iklim & pemanasan global,” ujar Fadlilla dalam keterangan resmi yang diterima, Kamis (23/11).

        Ia mengatakan, pengembangan benih tanaman bioteknologi telah melalui proses penelitian yang panjang dan tak mudah. Satu benih hasil rekayasa genetika bisa menempuh hingga belasan tahun sampai lolos berbagai ujicoba.

        “Benih tersebut sampai akhinya dinyatakan layak dan bisa diproduksi massal, kemudian bisa dikonsumsi sebagai bahan pangan dan pakan,” kata dia.

        Dalam prakteknya, hal ini sering dilakukan dalam ekosistem pertanian dari kedelai. Country Director USSEC (U.S Soybean Export Council) Indonesia Ibnu Wiyono, memaparkan bahwa Amerika Serikat jadi salah satu megara yang dengan ketat menerapkan praktik pertanian yang berkelanjutan. Hasilnya kedelai AS mendapatkan sertifikasi ‘Sustainable US SOY (SUSS logo)’ karena dianggaps sebagai pertanian kedelai yang menghasilkan emisi karbon paling rendah dibandingkan kedelai yang diproduksi oleh negara produsen utama lainnya seperti Brazil dan Argentina.

        “SUSS logo merupakan eco-label atau sertifikasi ramah lingkungan yang disematkan pada kemasan pangan yang menggunakan kedelai Amerika sebagai bahan baku utamanya,” kata dia.

        Ia mengatakan, produk pangan olahan kedelai yang menggunakan SUSS logo dapat lebih dihargai oleh konsumen lokal dan luar negeri karena diproduksi dengan memperhatikan aspek-aspek keberlanjutan. Sebagai penghasil kedelai terbesar di dunia, praktik pertanian kedelai berkelanjutan di Amerika telah membantu petani menaikkan produksi kedelai hingga 130% selama kurun waktu 40 tahun.

        Baca Juga: Diversifikasi Sumber Pangan, Millet Mulai Digelorakan!

        “Pertanian kedelai di Amerika menggunakan lebih sedikit input dan dampak lingkungan yang sejalan dengan indikator Sustainable Development,” kata dia.

        Tempe Sebagai Makanan Ramah Lingkungan

        Ketua Pembina Forum Tempe Indonesia Made Astawan mengatakan, dalam sebuah jurnal disebutkan bahwa berdasarkan penelitian, Generasi-Z lebih tertarik untuk mengikuti tren pembelian produk ramah lingkungan. Di tengah tren gaya hidup sehat, pilihan untuk menggunakan produk-produk yang ramah lingkungan juga meningkat.

        Baca Juga: Ketimpangan Indonesia Makin Mengkhawatirkan, Anies Baswedan Beber Hal Mencengangkan!

        “Khusus di Indonesia, belum banyak yang mengetahui mengenai Eco-Labels atau sertifikasi produk ramah lingkungan,” kata dia.

        Perilaku konsumen dalam memilih produk yang memiliki eco- labels dipastikan akan memberikan dampak secara luas.

        “Memilih produk yang menyematkan eco-labels seperti Sustainable U.S. Soy serta eco-labels lainnya, adalah langkah paling mudah namun berdampak kuat yang dapat dilakukan konsumen. Kesadaran Gen Z menjadi harapan besar kita semua bahwa kedepan produk- produk ramah lingkungan akan semakin mendapatkan prioritas,” ujar Made Astawan.

        Pengrajin Tempe Super Dangsul dari Bantul Sahrul mengatakan, sebagai produk pangan asli Indonesia, Tempe tentunya memiliki sejarahnya sendiri. Leluhur bangsa Indonesia sejak beberapa abad yang lalu ternyata sudah menerapkan konsep zero waste dalam memproduksi Tempe. Walaupun nilai-nilai sustainability ini baru lahir abad ini dari dunia barat, nenek moyang kita ternyata sudah sejak lama menerapkannya.

        “Walaupun saat ini tidak banyak rumah tangga yang memproduksi Tempe sekaligus memiliki hewan ternak, bukan berarti kita tidak bisa meneruskan ajaran-ajaran para leluhur kita. Saat ini saya justru mendapatkan pendapatan lebih, karena limbah dari produksi tempe saya ternyata bisa dijual dan dimanfaatkan oleh peternak sebagaI pakan,” kata dia.

        Dalam acara hari ini, Sekjen Forum Tempe Indonesia (FTI) M. Rhida juga memperkenalkan kepada media dan masyarakat, keberadaan media komunikasi FTI yang diwujudkan dengan hadirnya website www.mytempe.id yang diharapkan sebagai media literasi khusus dunia Tempe dan kedelai. Selain website, FTI juga menggunakan berbagai platform media sosial seperti Instagram dan Facebook (@mytempe_id) serta akun youtube (@Mytempe Indonesia).

        Baca Juga: Anies Baswedan: Ketimpangan dan Ketidakadilan Adalah Potret Indonesia saat Ini

        “FTI, sejak berdiri di tahun 2008 hingga saat ini memang sangat fokus untuk menaikkan kelas pengrajin tempe agar memenuhi standar keamanan pangan (higienis). Karena selain tempe memiliki keunggulan dari kandungan proteinnya yang sangat tinggi, kualitas sebagai bahan pangan tempe juga harus terus ditingkatkan. Bahkan sudah ada anggota kami yang sudah berhasil memasarkan Tempe ke berbagai negara,” ujar M. Ridha.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Aldi Ginastiar

        Bagikan Artikel: