Data Riset Analitika: Approval Rating 81,7%, Keberpihakan Jokowi Pengaruhi Pilihan Pilpres
Temuan Survei Data Riset Analitika menunjukkan 81,7 persen publik merasa puas dengan kinerja Presiden Jokowi. Hal ini akan berefek pada siapa saja yang mendapatkan restunya di Pilpres 2024.
Indikasi bahwa Jokowi berpihak dalam Pilpres semakin terang-terangan, setelah pernyataan bahwa menurut aturan yang ada presiden berhak untuk melakukan kampanye terhadap salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Baca Juga: Prabowo-Gibran Targetkan Tax Ratio Hingga 23 Persen, Faisal Basri: Pengusaha Bisa Kabur
Arah dukungan yang diberikan Jokowi dilatari oleh tekad untuk menjaga keberlanjutan program setelah selesai menjabat pada Oktober mendatang. Sebelumnya sejumlah pihak mendorong dilakukannya amandemen agar Jokowi bisa maju kembali hingga tiga periode.
Dari yang menyatakan puas, di antaranya sebanyak 9,3 persen bahkan merasa sangat puas dipimpin oleh Jokowi. Hanya 14,5 persen yang menyatakan tidak puas, termasuk 2,3 persen yang merasa tidak puas sama sekali, dan sisanya 3,8 persen tidak tahu/tidak jawab.
Tingginya tingkat kepuasan memperlihatkan aspirasi publik yang lebih mendukung wacana keberlanjutan. Publik cenderung akan memilih pasangan capres-cawapres yang dinilai paling mampu melanjutkan program-program Jokowi.
Keberpihakan Jokowi berpotensi mempengaruhi keputusan publik dalam memilih pasangan calon tersebut. Bahkan meskipun akhirnya Jokowi tidak terang-terangan mendukung, publik bisa menangkap pesan yang disampaikan secara tersirat.
Baca Juga: Kaesang: 14 Februari, Coblos Pak Prabowo dan Mas Gibran!
“Tingginya approval rating yang mencapai 81,7 persen membuat sikap keberpihakan Jokowi dapat mempengaruhi pilihan dalam Pilpres,” ungkap Direktur Eksekutif Data Riset Analitika Nana Kardina di Jakarta pada Selasa (30/1).
Menurut Nana, keberpihakan dari presiden atau pejabat publik atau bahkan ikut dalam kampanye semestinya bukan hal yang patut dipersoalkan. “Selama tidak dilarang oleh regulasi, hak politik setiap individu itu bisa digunakan maupun tidak,” tandas Nana.
Para pejabat publik baik eksekutif maupun legislatif yang dipilih secara langsung oleh rakyat lahir dari proses-proses politik. Selain itu ada pula jabatan yang tidak dipilih, hanya ditunjuk seperti menteri, juga diisi oleh para politisi.
Baca Juga: Antusias Ratusan Warga Jateng Lihat Jokowi dan Prabowo Makan Bakso Bareng: Semoga Tetap Merakyat
“Lain halnya dengan posisi-posisi dalam birokrasi, mencakup PNS/ASN dan TNI/Polri ataupun jabatan-jabatan kenegaraan lain, yang memang dilarang untuk terlibat dalam politik praktis, sehingga diharuskan bersikap netral dalam pemilu,” tegas Nana.
Walaupun dalam praktiknya jajaran birokrasi kerap kali dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari politik, tetapi ada aturan yang jelas untuk membatasinya. “Yang harus dipastikan para pejabat publik tersebut tidak menggunakan fasilitas negara untuk kampanye,” lanjut Nana.
Publik bisa turut mengawasi potensi pelanggaran dalam netralitas pejabat maupun adanya penyalahgunaan wewenang. Bawaslu dan pihak-pihak terkait yang berhak memeriksa dan menindak jika ditemukan bukti-buktinya secara hukum.
“Keberpihakan Jokowi adalah sikap politik, sementara pilihan publik akan sepenuhnya ditentukan di dalam bilik suara,” pungkas Nana. Pemilu pada 14 Februari 2024 bakal menentukan keberlanjutan program Jokowi hingga lima tahun mendatang.
Baca Juga: Meriahnya Suara Muda Indonesia, Prabowo-Gibran Diyakini Akan Menang Satu Putaran
Survei Data Riset Analitika dilakukan pada 20-25 Januari 2024, secara tatap muka kepada 1200 responden mewakili 38 provinsi. Metode survei adalah multistage random sampling, dengan margin of error ±2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: