Simak! Inilah Kunci Kesuksesan BCA jadi Bank Transaksional di Indonesia
Siapa sih di sini yang tak kenal PT Bank Central Asia Tbk (BCA)? Hampir semua lapisan masyarakat tentu kenal dengan bank swasta terbesar di Indonesia ini. kemudahan dan kenyamanan transaksi menggunakan BCA memang benar-benar dapat diandalkan. Lalu seperti apa perjalanan BCA hingga menjadi bank transaksi seperti saat ini? Bagaimana transformasinya?
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan, perkembangan teknologi turut memainkan peran penting dalam transformasi BCA. Dari penggunaan internet banking hingga kemudahan akses melalui aplikasi mobile banking, BCA terus berinovasi untuk memenuhi kebutuhan nasabahnya.
Jahja menyebut, BCA berhasil mengubah citra menjadi bank transaksi yang nyaman dan andal. Ia mengungkapkan, BCA menyadari pentingnya menjadi ramah pengguna (user-friendly) bagi semua lapisan masyarakat, termasuk yang lebih senior yang mungkin belum terbiasa dengan teknologi digital.
"Jangan lupa, BCA memang sudah berdiri 1957, ada (nasabah) yang berusia 18-20 tahun, banyak yang masih muda. Namun, kita juga memiliki nasabah yang usianya mencapai 95 tahun. Apakah mereka mahir menggunakan teknologi seperti generasi yang lebih muda? Kita harus benar-benar user friendly," kata dia dalam wawancara CEO2CEO QuBisa yang dilansir Minggu (24/3/2024). Baca Juga: AIA Gandeng BCA Luncurkan Wealth Premier Protection, Ini Kelebihannnya
Tidak hanya fokus pada kemudahan penggunaan layanan, BCA juga mengambil langkah proaktif dalam menjaga keamanan nasabahnya. Dengan adanya call center 24 jam, BCA memastikan nasabahnya selalu memiliki akses untuk mendapatkan bantuan dan solusi atas setiap masalah, terutama terkait transaksi digital.
Transformasi digital BCA tidak hanya membawa manfaat bagi bank sendiri, tetapi juga ekosistem bisnis dan masyarakat secara luas. Dengan memberikan akses yang lebih mudah dan nyaman terhadap layanan perbankan, BCA ikut mempercepat pertumbuhan ekonomi dan inklusi keuangan di Indonesia.
Memaksimalkan potensi fee baru
Jahja memaparkan, kini bisnis perbankan tidak hanya mengandalkan margin dari perbedaan antara biaya dana dan pendapatan dari pemberian kredit. Ada juga pendapatan dari biaya-biaya (fee) yang dikenakan atas berbagai layanan yang disediakan oleh bank.
Sebagai contoh, kemunculan virtual assistant atau e-wallet seperti OVO, Gopay, dan DANA yang menjadi populer di masyarakat belakangan ini, memerlukan pengisian saldo (top-up) untuk digunakan. Dalam hal ini, bank seperti BCA dapat mengenakan biaya atas transaksi top-up tersebut.
Selain itu, adanya pembayaran melalui virtual account atau koneksi perusahaan dengan jaringan bank juga membuka peluang baru untuk penghasilan fee bagi bank. Perusahaan-perusahaan yang ingin memanfaatkan jaringan bank untuk transaksi mereka perlu membayar biaya. Baca Juga: Dukung Penyelenggaraan Puteri Indonesia 2024, Bos BCA Beri Literasi Keuangan di Hadapan 42 Finalis
Pada awalnya, kata Jahja, mungkin sulit bagi banyak orang untuk membayangkan adanya fee-fee baru terkait dengan layanan digital ini. Namun, dengan munculnya fintech company dan perkembangan e-commerce, bank tradisional akhirnya harus beradaptasi agar bisnisnya tetap bertahan.
"Ternyata sampai sekarang malah kita bersahabat dengan mereka (fintech), dengan e-commerce. E-commerce kita kerja sama gitu ya, bagi-bagi profit, ya win-win solution namanya ya. Jadi, bank tradisional khususnya BCA juga tidak tinggal diam," imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait: