Kuasa hukum nakhoda kapal MT Arman 114 akan mengambil langkah hukum terhadap oknum dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutana (KLHK) karena diduga melakukan penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) dengan menyita paspor 21 anak buah kapal (ABK) asal Iran sehingga tidak bisa kembali ke negaranya.
"Salah satunya adalah melaporkan perkara tersebut kepada kepolisian," kata kuasa hukum nakhoda MT Arman, Pahrur Dalimunthe dalam keterangannya, Selasa (14/5).
Ia menambahkan penyitaan paspor milik 21 ABK dinilai tidak logis dan bertentangan dengan tupoksi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) KLHK.
Menurutnya, sesuai aturan, mestinya penyidik KLHK sejak awal penyidikan memberikan notifikasi keberadaan dan ABK yang merupakan warga negara asing (WNA) ke Imigrasi, kedutaan besar (kedubes) terkait dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu). Lalu, dan memberikan paspor saksi kepada Imigrasi.
"Bahkan dalam sebuah forum, yang juga dihadiri perwakilan Imigrasi, kami pernah bertanya, 'Apakah pernah KLHK bersurat (kepada Imigrasi)?' Mereka bilang belum. Ini jelas melanggar peraturan perundang-undangan," ucapnya.
"Atas dasar itu, kami berencana melaporkan oknum KLHK yang menyita paspor 21 ABK MT Arman ke polisi dengan dugaan pencurian, penggelapan, atau perbuatan tidak menyenangkan karena melakukan penyitaan dengan menyalahi prosedur," sambungnya.
Laporan kepada polisi bakal dilakukan jika KLHK tidak kunjung mengembalikan paspor kru MT Arman. Pahrur juga berencana mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Batam, Rabu (15/5).
"Kami meminta hakim membatalkan penyitaan paspor tersebut," katanya.
Selain itu, ia juga berencana mengadukan masalah ini kepada Ombudsman RI dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Sebab, tindakan oknum KLHK bertentangan dengan prinsip pelayanan publik dan melanggar kode etik dan norma aparatur negara.
Pahrur melanjutkan, pihaknya sempat berkali-kali bersurat kepada KLHK tentang masalah tersebut. Akan tetapi, permohonan itu tidak pernah ditanggapi.
"Bahkan, ada tim kita yang WhatsAppnya diblokir. Artinya, tidak ada itikad baik dari KLHK," tegasnya.
"Kami mendukung proses penegakan hukum yang adil. Langkah ini justru sebagai bentuk dukungan kami atas penegakan hukum yang adil, tetapi tanpa campur tangan oknum yang tidak bertanggung jawab.
Lebih jauh, Pahrur menyampaikan, mestinya paspor tersebut dikembalikan kepada para ABK. Sebab, peran dan kehadiran mereka sudah tidak diperlukan dalam penanganan kasus yang tengah berjalan.
"Sudah setahun lebih mereka tinggal di sini tanpa kepastian. Atas dasar kemanusiaan, apalagi tidak mendapatkan gaji selama kasus ini bergulir dan para kru kapal tidak lagi diperlukan dalam pembuktian karena segera masuk penuntutan, maka nakhoda memutuskan untuk menurunkan para ABK dari atas kapal setelah 11 bulan bahkan mengizinkan pulang ke negaranya agar bertemu keluarga," terangnya.
Ia mengingatkan, nakhoda merupakan penguasa dan pengendali atas kapal, termasuk penyusunan dan penurunan ABK. Ini diatur dalam berbagai regulasi, seperti IMO Conventions, UU Pelayaran Indonesia, dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
"Jadi, nakhoda secara hukum berwenang memerintahkan awak kapalnya untuk turun dan kembali ke negara asal dan bertemu keluarga atas dasar hukum dan kemanusiaan," ucapnya.
Penurunan awak kapal atas dasar surat penyidik KLHK tentang perawatan barang bukti mengingat kewenangan itu ada di tangan kapten kapal. Apalagi, nakhoda meminta bantuan Bakamla Batam secara resmi agar mengawal prosesi penurunan ABK.
"Jadi, proses penurunan para kru kapal juga tidak semau-maunya nakhoda, tapi sesuai prosedur. Lantas, kenapa KLHK justru sewenang-wenang?" tanya Pahrur.
"Kamu berharap kepada pemerintah, khususnya Imigrasi, agar segera mendeportasi ke-21 kru tersebut. Mereka manusia bebas dan merdeka, mereka berhak untuk bersatu kembali dengan keluarganya. Sehingga, tidak jadi masalah di kemudian hari di Batam," tandasnya.
Sebelumnya, kasus ini bermula ketika Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengamankan kapal MT Arman 114 di perairan Natuna, April 2023, karena diduga melakukan pemindahan minyak mentah ilegal secara ship to ship transhipment ke Kapal MT S Tinos berbendera Karibia, memalsukan sistem identifikasi otomatis (AIS), dan mencemari perairan.
Lantaran tidak memiliki kewenangan untuk menangani kasus tersebut, Bakamla lantas melimpahkan perkara kepada KLHK. Seiring waktu, nakhoda MT Arman telah ditetapkan sebagai tersangka dan perkara sudah bergulir di pengadilan. Pembacaan tuntutan di Pengadilan Negeri (PN) Batam dijadwalkan pada Kamis (16/5).
Di sisi lain, karena tidak memegang paspor, ke-21 ABK MT Arman yang telah turun sempat diperiksa Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam, Senin (13/5). Imigrasi juga akan berkoordinasi dengan KLHK terkait dokumen para ABK.
"Kami akan berkoordinasi dengan KLHK untuk memeriksa dokumen mereka, seperti paspor dan lainnya. Namun, masih menunggu koordinasi dari KLHK karena saat ini dokumen tersebut masih di KLHK," urai Kabid Teknologi Informasi dan Komunikasi Keimigrasian Imigrasi Kelas I Khusus TPI Batam, Kharisma Rukmana.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat