Menekan Emisi, Indonesia Siap Lakukan Elektrifikasi Transportasi Publik?
Kredit Foto: Rahmat Saepulloh
Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Indonesia memproyeksikan 11 kota prioritas yang dianggap mampu mendorong penurunan emisi karbon (CO2) yang bersumber dari transportasi publik berbahan bakar minyak. Komitmen itu tertuang dalam studi Peta Jalan dan Program Insentif Nasional Eltrifikasi Transpotasi Publik Perkokaan Berbasis Jalan yang baru saja diserahkan kepada Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, Selasa (21/5/2024).
Adapun studi tersebut merupakan dukungan ITDP Indonesia dalam mempercepat tercapainya target 90% elektrifikasi transportasi publik pada tahun 2030 sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 (Perpres 22/2017). Dalam usulannya, ITDP menargetkan 6.600 bus listrik beroperasi di 11 kota prioritas, yaitu Jakarta, Semarang, Pekanbaru, Batam, Medan, Bandung, Surabaya, Denpasar, Yogyakarta, Bogor, dan Padang.
Baca Juga: Ditempel Ketat Produsen China, Tesla Ternyata Masih Jadi Jawara Mobil LIstrik
Untuk menelisik kesiapan pemerintah daerah (pemda) terkait elektrifikasi transportasi publik, kesiapan infrastruktur transportasi menjadi prasyarat sebelum melakukan transisi dari bahan bakar minyak menjadi listrik. Dalam hal ini, komitmen pemda untuk melaksanakan layanan transportasi publik menjadi salah satu pertanyaan besar.
Hanya 11 Kota yang Siap Lakukan Elektrifikasi Transportasi Publik
Berdasarkan studi ITDP yang baru diluncurkan tahun 2024, tercatat 19 kota di Indonesia yang tidak memiliki sistem layanan trasnportasi publik yang memadai. Apalagi, elektrifikasi dan sistem layanan transportasi publik menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
"Jadi yang mau saya sampaikan adalah, kita jangan terlalu fokus di teknologi bus listriknya, tapi di transportasi publiknya dulu, baru kita ngomongin bus listriknya,” kata Direktur Asia Tenggara ITDP, Gonggomtua Sitanggang kepada wartawan di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (21/5/2024).
Gonggom menuturkan, dipilinya 11 kota prioritas didasarkan pada komitmen masing-masing Pemda dalam mendorong penurunan emisi karbon melalui elektrifikasi bus di samping kesiapan siapan infrastruktur transportasi publik itu sendiri.
Sementra untuk pengimplementasian elekrifikasi transportasi publik sendiri, kata Gonggom, tidak hanya menjadi keputusan pemerintah pusat dan daerah. Dalam hal ini, kolaborasi lembaga eksekutif dan legislatif juga dibutuhkan mengingat keduanya juga memiliki peran dalam membentuk regulasi terkait.
“Untuk mencapai target ini (eletrifikasi transportasi publik) dibutuhkan kolaborasi dari pemerintah nasional dan pemerintah daerahnya. Bukan hanya eksekutif, tapi juga legislatifnya,” kata Gonggom.
Sabagaimana kolaborasi yang dilakukan Pemda Pekanbaru dengan lembaga legislatif daerahnya, tutur Gonggom, yang memiliki komitmen dengan membentuk peraturan daerah (Pemda) khusus terkait transportasi publik. Adapun Perda tersebut memuat 5% Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dialokasikan untuk transportasi publik.
Baca Juga: Jokowi Bertemu Puan di WWF ke-10, Anak Buah Megawati: Para Pemimpin Kompak Menyangkut Hal Strategis
Gonggom mengapresiasi langkah Pemda Pekanbaru yang dinilai telah menjalankan Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, di mana pemerintah memiliki tanggung jawab atas penyelengaraan angkutan umum. Dia memandang, langkah tersebut perlu dicontoh Pemda lainnya sebagai komitmennya terhadap transportasi umum.
“Itu yang sangat kami apresiasi. Itu harapannya bisa menjadi contoh bagi kota-kota yang lainnya. Karena sebenarnya kan transportasi ini adalah hak, kalau menurut undang-undang itu hak wajib non-dasar,” jelasnya.
Untuk menyeragamkan kesiapan elektrifikasi transportasi publik, Gonggom sendiri mengaku, ITDP telah berkordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk mewajibkan Pemda-Pemda memenuhi hak wajib non-dasar terkait transportasi publik. Hal itu dinilai perlu agar Pemda di seluruh Indonesia membentuk segulasi yang kuat dan berkelanjutan mengenai transportasi publik.
Baca Juga: Sejajar dengan BCA dan BRI, Hasnur Raih Penghargaan The Best 6 Investortrust Companies 2024
“Jadi bukan lagi licensing, karena kan kalau kita lihat di kota-kota yang masih banyak angkot, itu kan sistemnya sebenarnya hanya root licensing, ya. Jadi tidak ada intervensi dari pemerintah. Nah harapan kami mindset ini berubah menjadi service orientated, yang berbasis layanan, di mana nanti pemerintah bisa intervensi dari bentuk subsidi atau bisa kan bentuk perencanaannya,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Chief Executive Officer ITDP, Heather Thompson menilai, rumusan kebijakan mengenai transportasi publik menjadi sebuah keharusan yang perlu diwujudkan tiap-tiap pemda di seluruh Indonesia. Pasalnya, kata dia, terdapat banyak keuntung yang diperoleh masyarakat dari transportasi publik.
Meski terdapat banyak tantangan, kata Heather, tak banyak negara yang memiliki regulasi khusus transportasi publik. Hal ini membuka peluang bagi Indonesia sebagai negara percontohan di sektor transportasi publik.
“Menjadi peluang bagi Indonesia untuk mulai atau menjadi salah satu contoh. Dan kalau misalnya berbicara negara lain, untuk yang punya contoh kepemimpinan yang baik dan sudah punya satu hukum yang baik, mungkin Meksiko juga satu hal yang bisa dilihat atau dipelajari,” kata Heather.
Elektrifikasi Transportasi Publik Bukan Sekadar Memindahkan Penumpang
Elektrifikasi di sektor transportasi publik menjadi satu diskursus yang berkaitan dengan isu perubahan iklim. ITDP sendiri menargetkan elektrifikasi transportasi publik dapat menurunkan suhu hingga 1,5 derajat celsius.
Berdasarkan salah satu studi ITDP yang berkerjasama dengan salah satu universitas di Amerika Serikat, Heather menilai banyaknya pengguna transportasi publik tidak langsung menurunkan suhu hingga 1,5 derajat.
“Kalau misalnya hanya memaksakan orang untuk berpindah ke transportasi publik saja, ternyata itu juga sama-sama tidak bisa mengurangi atau mencapai target pengurangan 1,5 derajat itu,” ungkapnya.
Ada dua skema yang mampu mendorong percepatan penurunan suhu. Pertama, kata Heather, menambah volume pengguna transportasi publik dengan bus telah melalui proses elektifikasi. Kedua mengurangi volume pengguna kendaraan pribadi berbasis bahan bakar minyak.
Baca Juga: Terbitkan SPI 321, Kemenparekraf dan Kemenkeu Harap Kekayaaan Intelektual Bernilai Ekonomi
“Karena spesifik dari studi kami untuk Indonesia, ketika menghitung hanya elektrifikasi saja atau tadi, perpindahan ke transportasi publik saja, ya, target ini masih belum bisa dipenuhi. Maka dengan menambahkan kedua itu, ditambah usaha yang masif, meskipun belum tercapai juga untuk target Indonesia, tapi hal ini menjadi masih mungkin mendekati ke pengurangan 1,5 derajat celsius,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Aldi Ginastiar