Kemendag Kritisi Wacana Kemasan Rokok Polos, Picu Pemalsuan Produk Hingga Hak Konsumen yang Terabaikan
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengkritisi rencana Kementerian Kesehatan untuk menerapkan kemasan rokok polos, dengan alasan kebijakan ini dapat menghambat perdagangan dan mengurangi hak pemegang merek. Selain itu, hal ini berpotensi menciptakan inkonsistensi, mengingat Indonesia sebelumnya pernah menggugat kebijakan serupa.
Penerapan kebijakan kemasan rokok polos berpotensi melanggar perjanjian perdagangan global, termasuk yang diatur oleh WTO. Kebijakan ini bertentangan dengan sejumlah pasal dalam Kesepakatan Aspek Kekayaan Intelektual yang Terkait Perdagangan (Trade Related Aspect of Intellectual Property/TRIPs), terutama Pasal 20, yang melarang persyaratan yang mempersulit penggunaan merek dagang. Selain itu, kebijakan ini juga diduga melanggar Pasal 2.2 dari Kesepakatan Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barrier to Trade/ TBT), yang mengharuskan negara anggota untuk tidak menghambat perdagangan lebih dari yang diperlukan.
Dengan demikian, Angga Handian Putra, Negosiator Perdagangan Ahli Madya di Kementerian Perdagangan menjelaskan kebijakan kemasan polos menawarkan tantangan yang kompleks bagi Indonesia. Dia menjelaskan, kebijakan ini perlu dievaluasi secara menyeluruh agar tidak mengganggu perdagangan dan hak pemegang merek.
“Walaupun belum dilibatkan secara resmi, kita akan proaktif menghubungi unit terkait di Kementerian Kesehatan yang menangani ini. Secara regulasi kan artinya kemasan polos ini berbenturan dengan hak cipta dan merek dagang,” jelasnya kepada media
Indonesia, bersama Honduras, Republik Dominika, dan Kuba, telah menggugat kebijakan kemasan rokok polos Australia ke WTO pada 1 Juni di Jenewa. Ironisnya, kini Kementerian Kesehatan berencana mengeluarkan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPermenkes) yang mengatur kemasan polos untuk semua produk tembakau, termasuk rokok elektronik, berdasarkan PP No. 28/2024 yang baru disahkan. Kemasan rokok polos terdiri dari kotak berwarna seragam dengan peringatan kesehatan, tanpa logo atau jenis huruf khas merek, yang menyulitkan perokok dalam menemukan produk sesuai preferensi mereka.
Menurutnya, penting untuk memastikan bahwa merek dagang tetap digunakan, karena merek berfungsi sebagai daya pembeda produk tembakau, membantu konsumen memilih antara produk premium dan non-premium, serta mencegah perdagangan ilegal dan pemalsuan.
Dia juga mengimbau Kementerian Kesehatan untuk mengantisipasi dampak sistemik dari kebijakan ini. Ada kemungkinan Indonesia dapat disengketakan oleh negara-negara anggota WTO lainnya yang memiliki kepentingan perdagangan, mengingat setiap negara memiliki kondisi, struktur pasar, dan perilaku konsumen yang berbeda.
Baca Juga: Asosiasi Iklan Nilai Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Inisiasi Kemenkes Matikan Usaha Kreatif
“Kami berharap bahwa Kementerian Kesehatan dapat menyertakan juga dalam mengembangkan konsep kebijakan kemasan polos disertai dengan bukti-bukti ilmiah dan memperhatikan ketentuan-ketentuan WTO yang ada,” tegasnya.
Sudah pasti tanpa elemen visual yang dikenal, konsumen terpaksa berhadapan dengan kemasan yang membingungkan dan kehilangan informasi penting yang biasanya membantu dalam memilih produk. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, dengan hilangnya ciri khas desain, konsumen berisiko membeli produk yang ilegal atau palsu. Ini bertentangan dengan hak perlindungan konsumen yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen No 8 Tahun 1999, di mana rokok sebagai produk legal seharusnya mendapatkan perlindungan yang memadai, bukan justru diperumit oleh kebijakan yang tidak efektif.
Menurut Khoirul Afifudin, Juru Bicara Komunitas Kretek, kebijakan kemasan polos tersebut juga nantinya akan membuat Bea Cukai bingung dalam penempatan pita cukai karena karena Permenkes ingin gambar Peringatan Kesehatan yang ada di kemasan rokok tidak boleh terhalang oleh apapun. Padahal pita cukai adalah salah satu penanda penting bahwa produk rokok tersebut adalah produk resmi atau palsu.
Artinya, kebijakan ini tampaknya bukan hanya menyulitkan konsumen tetapi juga menciptakan celah bagi produk ilegal tanpa pita cukai atau dengan pita cukai palsu. Pada akhirnya, upaya pemerintah menurunkan prevalensi perokok melalui kebijakan ini pun tidak juga tercapai. Afif juga menjelaskan kebijakan ini seolah memberi tempat lebih bagi rokok ilegal, serta menghancurkan rokok legal.
“Hal ini jelas bahwa rancangan aturan ini berpotensi mengkhianati konstitusi, merusak hak merek dan hal berekspresi pada kemasan rokok. Secara tidak langsung rokok polosan ini, baik bagi penjual dan pembeli seolah membeli barang nista, padahal kenyataannya rokok ini adalah produk yang legal,” ucapnya kepada media.
Lanjut Afif, sudah semestinya Kementerian Kesehatan tidak hanya disibukan oleh urusan rokok semata, apalagi hanya menyoal urusan bungkus. Padahal, pesan kesehatan pada kemasan rokok sudah diatur sebelumnya dalam PP 109/2012 dengan porsi peringatan sebesar 40%, yang telah terbukti efektif menurunkan prevalensi perokok dari 9,1% pada 2018 menjadi 7,4% pada 2023, menurut Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023.
Baca Juga: Rancangan Aturan Menkes soal Kemasan Rokok Polos Dinilai Rugikan Ekosistem Tembakau Nasional
Namun, pihak-pihak kesehatan tampaknya tidak puas dengan pencapaian ini. Meski ukuran peringatan kesehatan telah ditingkatkan menjadi 50%, mereka juga mengusulkan kemasan polos yang melampaui ketentuan yang ada dan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Bahkan kebijakan ini secara tidak langsung mengadopsi prinsip-prinsip Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang belum diratifikasi oleh Indonesia.
Perlu dicatat bahwa Industri Hasil Tembakau (IHT) memberikan kontribusi signifikan kepada negara, pemerintah, pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta masyarakat umum, termasuk dalam sektor kesehatan.
Afif menyimpulkan bahwa penerapan kemasan polos bertujuan untuk merugikan industri tembakau di Indonesia dan mengancam pelaku industri kreatif yang bergantung pada desain kemasan. Oleh karena itu, Komunitas Kretek meminta agar pembahasan Permenkes dihentikan dan PP No. 28 Tahun 2024 dicabut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: