Pemerintah Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 untuk mempercepat transisi energi dari dukungan fiskal. Meskipun aturan ini dinilai sebagai langkah penting, Institute for Essential Services Reform (IESR) memberikan tiga catatan kritis yang perlu diperhatikan agar implementasinya berjalan efektif.
PMK No. 103/2023, yang diterbitkan pada 13 Oktober 2023, bertujuan mendukung percepatan transisi energi dengan memberikan payung hukum untuk investasi energi terbarukan dan pengakhiran dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Aturan ini memungkinkan pendanaan platform transisi energi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan sumber lain, termasuk pendanaan internasional, yang dikelola melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI).
IESR menilai bahwa beberapa aspek dari PMK No. 103/2023 perlu diperkuat. Berdasarkan penilaian Climate Policy Implementation Check 2024, Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebutkan tiga catatan utama untuk memastikan transisi energi yang adil dan berkelanjutan:
Harmonisasi Kebijakan Lintas Sektor
Fabby menegaskan bahwa perlu ada harmonisasi antara PMK No. 103/2023 dengan kebijakan terkait lainnya. Hal ini untuk memastikan PMK ini sejalan dengan kebijakan terkait, seperti persyaratan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), kewajiban pasar domestik (DMO) batubara, subsidi bahan bakar fosil, dan peraturan fiskal lainnya.
Transparansi dan Mekanisme Pelaporan
Aspek transparansi dalam pengelolaan pendanaan menjadi perhatian penting IESR. Fabby menyoroti perlunya mekanisme pelaporan dan evaluasi kebijakan yang lebih jelas, yang hingga saat ini belum sepenuhnya diatur dalam PMK No. 103/2023.
Penguatan Mandat PT SMI
IESR juga mencatat bahwa PT SMI, sebagai pengelola platform transisi energi, perlu memperkuat mandatnya untuk mengakses sumber daya keuangan yang lebih besar dan memiliki kerangka kerja yang jelas untuk mekanisme pemulihan biaya (cost recovery).
Selanjutnya, Studi IESR memperkirakan bahwa untuk mencapai target dekarbonisasi sektor energi, Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD 30-40 miliar per tahun atau sekitar USD 1.380 miliar hingga 2050. Selain itu, pengakhiran operasional PLTU batubara juga harus dilakukan secara bertahap, dengan menghentikan operasi 2-3 gigawatt (GW) PLTU setiap tahun hingga 2045.
Muhammad Aulia Anis, Staf Program Transisi Berkeadilan IESR, menambahkan bahwa alokasi anggaran mitigasi iklim dari APBN untuk sektor energi dan transportasi pada 2022 hanya mencapai Rp19,5 triliun atau sekitar USD 1,3 miliar.
“Jumlah ini masih jauh dari angka yang dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi berkeadilan, sehingga pemerintah perlu mengoptimalkan sumber pendanaan dari sektor publik maupun swasta,” ujar Aulia.
IESR menegaskan bahwa langkah-langkah strategis diperlukan untuk mempercepat transisi energi terbarukan di Indonesia, dengan mengatasi berbagai kesenjangan dalam institusi, pengawasan, dan pendanaan. Kolaborasi erat antara pemerintah, lembaga keuangan, dan sektor swasta menjadi kunci untuk memastikan transisi energi yang cepat, adil, dan berkelanjutan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: