Fadhil Hasan selaku Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), mengatakan bahwa para petani masih minim pengetahuan terkait implementasi regulasi Uni Eropa perihal antideforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) masih minim.
Menurut Fadhil, hasil tersebut diperoleh berdasarkan keterangan dari 500 petani yang menjadi responden studi INDEF di tiga sentra perkebunan kelapa sawit yang masuk ke dalam rantai pasok ekspor terbesar ke Uni Eropa. Di antaranya adalah Siak, Riau; kemudian Mesuji, Lampung dan terakhir Ketapang, Kalimantan Barat.
Baca Juga: Lawan Kampanye Hitam, BPDPKS Ajak Generasi Muda Melek Sawit
“Sebanyak 94 persen responden itu tidak pernah mendengar adanya aturan tentang EUDR ini. Padahal aturan ini akan sangat berdampak pada mereka,” kata Fadhil dalam keterangan yang dikutip Kamis (24/10/2024).
Ketidaktahuan para petani terhadap regulasi tersebut, ucapnya, dapat memberi dampak negatif yang signifikan terhadap perekonomian daerah.
Pasalnya, apabila para petani tidak memahami aturan tersebut dan tidak bisa memenuhi persyaratan yang tercantum, maka mereka tidak bisa mengekspor produk sawitnya ke pasar Eropa lagi lantaran terganjal aturan tersebut. Sehingga, hal itu bisa mengurangi pendapatan mereka maupun pemungutan bea pemerintah daerah.
Ia pun meminta kepada pemerintah untuk meningkatkan diseminasi terkait implementasi peraturan tersebut baik kepada para petani maupun pemerintah daerah itu sendiri. mengingat hanya 6% petani saja yang mengetahui tentang EUDR ini.
Selain edukasi terkait implementasi EUDR, Fadhil juga menyatakan bahwa para petani juga membutuhkan dukungan finansial, teknis, serta pelatihan untuk menjalankan regulasi tersebut.
Baca Juga: Badan Perkebunan Kelapa Sawit Resmi Urus Dua Komoditas Ini
Sebanyak 61,58 persen responden menurut dia membutuhkan dukungan finansial dan 36,36 persen lainnya membutuhkan dukungan pelatihan teknis. Dan sisa lainnya meminta adanya dukungan teknologi dan dukungan lainnya.
“Jadi mereka itu umumnya untuk bisa patuh (terhadap EUDR) itu, mereka itu membutuhkan dukungan. Mayoritas dukungan itu berupa finansial agar mereka untuk bisa memenuhi aturan tersebut,” ujarnya.
Bahkan, imbuh Fadhil, adanya insentif fiscal dengan kenaikan harga tandan buah segar (TBS) sawit sebesar 22,73 persen atau setara dengan Rp500 per kilogramnya masih belum mampu mendorong para petani untuk bersedia menerapkan regulasi tersebut.
Baca Juga: Optimalkan Tata Kelola, Prabowo Diminta Segera Hadirkan Badan Sawit Nasional
“Hanya 60 persen dari responden yang bersedia untuk mengikuti aturan EUDR dengan besaran insentif tersebut,” jelas Fadhil.
Pihaknya, melalui studi tersebut, juga menemukan bahwa penerapan regulasi itu menyebabkan harga TBS sawit diproyeksikan menurun sebesar 4,9 persen hingga 9,4 persen.
Selain itu, Fadhil mengatakan ada pula potensi peningkatan jumlah petani sawit yang hidup di bawah garis kemiskinan. Yakni sebesar 1,15 persen hingga 10,4 persen.
Maka dari itu, dia menyarankan kepada pemerintah untuk segera mempertimbangkan kembali implementasi dari EUDR, menerapkan harga premium untuk melindungi kesejahteraan petani, memberikan insentif yang baik untuk mereka, serta memastikan kesiapan petani, akses pasar, dukungan regulasi, hingga dukungan pasar internasional sebelum aturan tersebut diterapkan.
Selain itu, menurutnya pemerintah pun perlu memastikan bahwa peta hutan yang dimiliki bisa diterima oleh Uni Eropa untuk menilai apakah terjadi deforestasi di Indonesia atau tidak.
Baca Juga: IPOC 2024: Menguatkan Posisi Kelapa Sawit dalam Pasar Global
“Ketika EUDR ini nanti tahun depan diberlakukan, saya kira kita harus memastikan bahwa kita itu masuk ke dalam lower risk countries dalam hal deforestasi, kemudian juga kita harus memastikan bahwa petani itu tidak tersisihkan dari rantai pasok itu,” imbuhnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar