Dibayangi Greenwashing, Bisakah Indonesia Capai Target Net Zero Emission?
Sistem keuangan berkelanjutan berbasis Environmental, Social, and Governance (ESG) menghadapi berbagai tantangan meskipun menjanjikan potensi besar untuk mendukung transisi menuju ekonomi hijau. Tantangan tersebut diungkapkan dalam acara Economic & Capital Market Outlook 2025 yang merupakan bagian dari rangkaian kegiatan CSA Awards 2024.
David Sutyanto, Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI), menyoroti bahwa implementasi sistem keuangan berkelanjutan masih dibayangi berbagai faktor risiko global. Tensi geopolitik, seperti konflik di Timur Tengah, perang Rusia-Ukraina, dan dinamika perdagangan AS-Cina, turut memperkeruh situasi. Selain itu, krisis properti di Cina dan lemahnya permintaan domestik di kawasan Eropa juga menjadi tantangan besar bagi ekonomi hijau.
Di sisi lain, sektor keuangan di Indonesia telah menunjukkan kontribusi nyata dalam mendukung keuangan berkelanjutan. Lembaga perbankan, seperti BCA dan Mandiri, telah menggelontorkan dana hingga ratusan triliun rupiah untuk pembiayaan hijau.
Baca Juga: Survei Schneider 2024: Indonesia Capai 47% Target Keberlanjutan
Namun, Dr. Yudi Priambodo Purnomo Sidi, salah satu panelis, menekankan bahwa tantangan seperti praktik greenwashing, keterbatasan produk hijau, dan kurangnya insentif masih perlu diatasi untuk mencapai pasar modal hijau yang kompetitif.
Menurut survei, 66,1% investor di Indonesia mulai memilih saham perusahaan yang mengutamakan praktik ESG. Namun, rendahnya kesadaran dan edukasi pasar masih menjadi hambatan utama untuk mendorong investasi hijau. Tantangan lain adalah regulasi yang belum sepenuhnya mendukung inovasi produk keuangan berbasis lingkungan.
Acara Economic & Capital Market Outlook 2025 bertajuk Sustainable Finance Transformation: Towards a Green Capital Market digelar sebagai bagian dari CSA Awards 2024. Acara ini menyoroti transformasi sistem keuangan berkelanjutan sebagai langkah strategis menuju pasar modal hijau.
Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono, yang membuka seminar, menegaskan bahwa pemerintah terus berupaya mempercepat pembangunan infrastruktur hijau untuk mencapai target emisi nol bersih pada 2060. "Pemerintah akan menerapkan kebijakan dan peraturan yang lebih ketat untuk mendukung komitmen internasional, termasuk Paris Agreement," ujarnya.
Baca Juga: Majukan Aspek Keberlanjutan, Investasi Sektor Hulu Migas Diproyeksi Tembus Rp267 T
Dalam paparannya, Prof. Budi Frensidy menjelaskan bahwa perusahaan memiliki peran penting dalam mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs). Bisnis yang mengadopsi prinsip 3P (Profit, People, Planet) akan lebih berkelanjutan di tengah perubahan global.
Dr. Yudi menambahkan bahwa keuangan berkelanjutan di Indonesia harus memanfaatkan potensi karbon negara. Dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia dan ekonomi biru yang potensial, Indonesia memiliki peluang besar untuk memimpin pasar karbon global. Jika pasar karbon dikelola dengan baik, potensi pendapatan Indonesia bisa mencapai Rp8.400 triliun.
AAEI menyimpulkan bahwa transisi menuju sistem keuangan berkelanjutan membutuhkan kerjasama lintas sektor, penguatan regulasi, dan inovasi teknologi. Dengan potensi besar dan komitmen kolektif, Indonesia diharapkan mampu memimpin transformasi pasar modal hijau sekaligus memperkuat posisi di tingkat global.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: