Kesepakatan Tarif Indonesia-AS, Langkah Pemerintah Jaga Netralitas Geopolitik
Kredit Foto: Istimewa
Kesepakatan tarif antara Presiden Prabowo dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menuai respons beragam dari publik di tanah air. Berdasarkan kesepakatan tersebut, produk Indonesia diharuskan membayar hingga 19% tarif bila ingin merambah pasar AS. Sedangkan produk AS sendiri akan mendapat tarif minimal, bahkan sebagian besar di antaranya akan dipatok tarif 0%.
Bagi sebagian kalangan, kesepakatan di atas dianggap memberatkan Indonesia. Sedangkan bagi kalangan lainnya, kesepakatan itu ditanggapi secara positif, karena diharapkan berpotensi mempertahankan peluang ekspor ke AS dan meningkatkan potensi investasi dari perusahaan-perusahaan asal ekonomi terbesar dunia itu di Indonesia.
Namun ditinjau dari segi geopolitik, konsensus itu dapat dimaknai sebagai langkah penting yang berkaitan erat dengan posisi netral Indonesia dalam dunia internasional yang dalam perkembangan terakhir diwarnai dengan rivalitas antara negara-negara besar, khususnya Republik Rakyat China (RRC) dan AS.
Baca Juga: AS Kenakan Tarif Impor 19% untuk Produk RI per 7 Agustus
“Sejak akhir 2024, usai Presiden Prabowo berkunjung ke Beijing dan merilis pernyataan bersama dengan Presiden Xi Jinping, baik pemerhati di dalam negeri maupun dunia internasional berandai-andai bahwa Indonesia cenderung lebih condong kepada RRC,” tutur pemerhati China yang juga pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto.
Ia menuturkan hal tersebut dalam seminar bertajuk “Antara Amerika dan China: Indonesia di Era Perang Dagang Trump 2.0,” yang digelar Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Paramadina Public Policy Institute (PPPI) Universitas Paramadina, di Jakarta, Kamis (31/7).
“Namun kesepakatan Presiden Prabowo dan Trump baru-baru ini memperlihatkan bahwa Indonesia pun berupaya merangkul AS dan dengan demikian tetap berkomitmen menjaga posisi netral dalam konstalasi geopolitik yang berkembang saat ini,” tutur Johanes yang juga mengetuai Forum Sinologi Indonesia (FSI).
Johanes berpendapat bahwa upaya Indonesia mempertahankan, atau bahkan meningkatkan, relasi ekonomi dengan AS itu menggugurkan prediksi bahwa Indonesia cenderung berpihak pada salah satu negara besar dunia. “Selain urusan perdagangan, kesepakatan tarif dengan Trump perlu dipandang sebagai upaya cerdas Prabowo menjaga netralitas,” katanya.
Selain itu, Johanes juga sepakat dengan pandangan ekonom kenamaan asal Malaysia, Profesor Woo Wing Thye, yang memandang kesepakatan di atas sebagai sebuah strategi Indonesia untuk merangkul kekuatan-kekuatan besar dunia, termasuk China dan AS, agar dapat memobilisasi dukungan global bagi agenda pembangunan nasionalnya.
Namun, Johanes mengingatkan bahwa kesepakatan antara Prabowo dan Trump di atas dapat saja direspons oleh RRC dengan meminta Indonesia memberikan akomodasi yang lebih bagi kepentingan RRC.
Menurutnya, setidaknya terdapat dua hal yang patut diwaspadai. Pertama, bila RRC meminta hambatan yang lebih rendah lagi bagi masuknya barang-barang mereka. Johanes berpendapat bahwa bila permintaan tersebut terjadi dan dikabulkan, maka produk asal RRC yang saat ini pun telah mendominasi pasar Indonesia akan semakin merajalela.
Baca Juga: Hasil Negosiasi Tak Jelas, China Akhirnya Peringatkan Trump Soal Perang Dagang
Mengingat produk asal negara itu seringkali berkompetisi langsung dengan produk-produk lokal, kehadirannya yang makin masif akan membawa dampak signifikan bagi dunia usaha dan dunia kerja di Indonesia. Hal kedua yang perlu menjadi catatan adalah bila Tiongkok meminta lebih banyak partisipasi dalam berbagai proyek-proyek penting di Indonesia, misalnya proyek infrastruktur.
Dalam pandangan Johanes, penting bagi pemerintah untuk mengkaji dan mengevaluasi keterlibatan China dalam proyek-proyek tersebut. Apalagi, pengalaman masa lalu memperlihatkan potensi pembengkakan anggaran dan meningkatnya beban pengembalian pinjaman dalam jangka panjang yang dipikul oleh Pemerintah Indonesia di masa mendatang, seperti yang terjadi dalam Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung.
Sementara itu, Staf Ahli dan Juru Bicara Masalah Ekonomi Kantor Komunikasi Presiden, Fithra Faisal Hastiadi, menyatakan kesepakatan antara Indonesia dan AS memiliki peran penting bagi AS karena menjadi semacam tren yang diikuti dengan kesepakatan-kesepakatan antara AS dengan negara-negara lain, yaitu Filipina, Jepang, Uni-Eropa, dan Korea Selatan.
Ia juga mengatakan bahwa kesepakatan tarif yang akhirnya diumumkan itu adalah hasil dari sebuah usaha terbaik yang telah dilakukan Pemerintah Indonesia. Bagi dia, keberhasilan memperoleh tarif dari AS hingga sekitar 15-20% adalah skenario yang paling ideal.
“Peristiwa kemarin ideal sekali, dan merupakan the best deal (kesepakatan terbaik). Dan andai ada negara lain yang mendapatkan 15%, maka kita akan memperoleh kesempatan untuk melakukan negosiasi kedua,” tutur dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia itu.
Fithra juga menuturkan bahwa kesepakatan tarif antara Indonesia dan AS ini memperlihatkan bahwa Indonesia dianggap lebih favorit oleh AS dibandingkan dengan negara-negara lain, misalnya dibandingkan dengan Vietnam yang memperolah tarif 20%.
Menurutnya, Indonesia juga berhak meminta negosiasi lebih lanjut bila terdapat negara-negara anggota ASEAN (Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara) yang memperoleh tarif lebih rendah, misalnya 15%.
“Bahkan kita sedang mengusahakan agar produk-produk Indonesia yang tidak bersaing langsung dengan produk-produk AS, seperti nikel, kayu manis, rempah, mineral kritis, produk agrikultur, kopi, kakao, dan minyak kelapa mentah, dapat mendapatkan penurunan tarif hingga 0 persen,” katanya. Oleh karenanya, Fithra berpandangan bahwa kesepakatan tarif yang sudah dicapai merupakan yang terbaik bagi rakyat AS dan Indonesia.
Baca Juga: Ini Kata Gedung Putih Soal Nasib Negara Tak Lakukan Negosiasi Tarif AS
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Ekonomi Internasional (AEI), Lily Yan Ing, menyampaikan pandangan berbeda. Menurutnya, kesepakatan tarif antara Indonesia dan AS justru memunculkan dilema.
Ia mengkhawatirkan apa yang Indonesia telah tawarkan pada AS dalam kesepakatan tarif pada awal Juli 2025 ini menjadi preseden yang sangat buruk, karena akan dipertanyakan oleh mitra dagang Indonesia yang lain, seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan negara-negara mitra yang lain.
“Mereka akan bertanya mengapa Indonesia hanya menawarkan kepada AS, dan tidak kepada yang lain,” tutur Lily. Oleh karenanya, Lily meminta agar dilakukan negosiasi kembali terhadap tarif yang telah disepakati sesuai dengan hukum internasional dan prinsip saling menghormati.
Terkait dengan hubungan ekonomi Indonesia-China, Lily mengingatkan bahwa China sebenarnya juga memiliki isu struktural. “Pertama adalah kapasitas yang berlebih (over capacity), sedangkan yang kedua adalah subsidi yang berlebih pada sektor industrial,” tegasnya.
Oleh karenanya, Lily menghimbau agar dalam melakukan negosiasi dengan China, Indonesia menekankan agar China melakukan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restriction) untuk produk yang memiliki kesamaan dengan produk-produk di Indonesia, seperti garmen, alas kaki, dan produk-produk lain yang berbasis tenaga kerja intensif.
Lily juga menganggap pemanfaatan Perjanjian Perdagangan Bebas Asean China (ACFTA) dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) secara optimal sebagai suatu hal yang penting untuk dilakukan. Sedangkan keanggotaan dalam BRICS, menurutnya, dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih strategis.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan bahwa saat ini telah terjadi pergeseran dalam perbandingan antara berbisnis dengan AS dan dengan China. “Berbisnis dengan China sekarang makin mudah daripada berbisnis dengan AS,” tuturnya.
Wijayanto menilai bahwa dalam konstalasi geopolitik yang berkembang, Indonesia akan selalu berada di tengah. Namun ia juga menekankan bahwa meskipun berada di tengah, Indonesia akan lebih condong kepada China, karena dalam pandangannya, berbisnis dengan China saat ini cenderung lebih mudah. “Pada saat yang sama, kepercayaan (trust) kepada China pun makin meningkat,” katanya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Belinda Safitri
Editor: Belinda Safitri
Tag Terkait: