Suksesnya Ciputra Membangun Ancol hingga BSD, dari Anak Telat Masuk Sekolah hingga Dirikan Universitas
Kredit Foto: Istimewa
Ir. Ciputra, atau Tjie Tjin Hoan, lahir di Parigi, Sulawesi Tengah, pada 1931. Ia merupakan anak bungsu dari tujuh bersaudara dalam keluarga sederhana.
Ayahnya ditangkap pasukan tak dikenal ketika Ciputra masih kecil, dan sejak itu ia tak pernah lagi bertemu sosok ayah. Kehidupan ekonomi keluarga yang serba kekurangan membuatnya terlambat masuk sekolah hingga empat tahun. Ia harus berpindah-pindah kota demi bisa melanjutkan pendidikan, dari Gorontalo hingga Bumbulan, bahkan sempat tidak naik kelas karena kendala bahasa.
Sejak remaja, ia membantu ibunya dengan berkebun, berburu babi hutan, berjualan kue, hingga merawat ternak demi menambah penghasilan keluarga. Di tengah kesulitan itu, semangat belajarnya tak pernah padam. Ia akhirnya lulus SD pada usia 16 tahun, melanjutkan sekolah ke SMP dan SMA di Manado, lalu bertekad merantau ke Pulau Jawa demi kehidupan yang lebih baik.
Di Jawa, Ciputra berhasil masuk Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menempuh studi arsitektur. Sejak tahun kedua kuliah, ia berhenti menerima kiriman uang dari ibunya dan mulai mencari penghasilan sendiri.
Pada 1957, ketika masih mahasiswa tingkat empat, Ciputra bersama Ismail Sofyan dan Budi Brasali mendirikan biro arsitek PT Daya Cipta. Kepercayaan untuk menangani proyek di Banda Aceh menjadi pintu masuk ke dunia pengembangan properti.
Kariernya semakin menanjak ketika pada 1961 ia dipercaya memimpin PT Pembangunan Jaya. Melalui perusahaan ini, Ciputra menghadirkan proyek-proyek ikonik seperti Taman Impian Jaya Ancol dan Pasar Senen, yang kemudian menjadikan namanya kian dikenal.
Pada 1971, ia mendirikan Metropolitan Group dengan proyek andalan kawasan elite Pondok Indah. Sepuluh tahun kemudian, lahirlah Ciputra Group, yang melibatkan keluarganya dalam bisnis dan menjadi tonggak utama perjalanannya di dunia properti.
Proyek perdananya, CitraGarden City (1984), menjadi model township terintegrasi pertama di Indonesia. Seiring waktu, Ciputra Group berkembang pesat, go public pada 1994, dan melahirkan banyak pengembangan kota baru, di antaranya Bumi Serpong Damai, Pantai Indah Kapuk, Citra Raya, hingga proyek internasional di Vietnam, China, India, dan Kamboja.
Ciputra percaya bahwa kesuksesan bisnis berakar pada tiga hal: keinginan, semangat, dan keberanian mengambil risiko. Ia juga merumuskan filosofi bisnis yang ia sebut IPE (Integritas, Profesionalisme, dan Kewirausahaan). Menurutnya, kewirausahaan adalah kemampuan menciptakan nilai dari ketiadaan, sebuah prinsip yang ia gambarkan dengan istilah “mengubah kotoran menjadi emas.”
Ketekunan dan keberaniannya membuatnya mampu bertahan bahkan ketika krisis moneter 1998 menghantam bisnis properti di Indonesia. Meski perusahaannya sempat terpuruk, ia bangkit kembali dan membawa Ciputra Group melakukan ekspansi lebih luas, baik di dalam maupun luar negeri.
Kesuksesan tidak membuat Ciputra lupa daratan. Ia mendirikan sekolah dan Universitas Ciputra sebagai bentuk nyata kepeduliannya terhadap pendidikan dan pengembangan wirausaha di Indonesia. Ia juga aktif dalam lebih dari 10 yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, seni, budaya, hingga olahraga. Salah satu karyanya adalah Ciputra Art Gallery, Museum, dan Teater yang menjadi ruang bagi kreativitas bangsa.
Atas kontribusi luar biasanya, Ciputra menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Tarumanagara pada 2008. Namanya juga diabadikan dalam Museum Rekor Indonesia (MURI) berkat dedikasi dan karya besarnya bagi negeri ini.
Ciputra wafat pada 2019, namun warisannya tetap hidup. Anak-anaknya kini meneruskan estafet kepemimpinan Ciputra Group, menjaga nilai-nilai integritas, profesionalisme, dan kewirausahaan yang ia tanamkan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: