Jalan Sukses Peter Sondakh, Membangun dan Melepas RCTI, XL, hingga Bentoel Group
Kredit Foto: Rajawali
Peter Sondakh, nama yang kini lekat dengan dunia bisnis Indonesia, lahir di Manado pada 23 Juni 1953. Latar belakangnya sebagai anak pengusaha minyak kelapa dan eksportir kayu membuatnya akrab dengan dunia usaha sejak kecil.
Jalan hidupnya berubah drastis ketika di usia 20 tahun sang ayah meninggal dunia. Peter yang kala itu masih kuliah kedokteran gigi harus menghentikan pendidikannya dan mengambil alih bisnis keluarga.
Meski bisnis keluarga masih berskala kecil, pengalaman itu menjadi batu loncatan bagi Peter untuk menapaki dunia korporasi. Pada usia 22 tahun, ia sudah sepenuhnya mengelola bisnis minyak kelapa dan ekspor kayu.
Tak berhenti di sana, pada 1976 ia tercatat sebagai pemegang saham di PT Bumi Modern (properti), dan di tahun 1977 berhasil membangun Hotel Hyatt di Surabaya. Keberhasilan ini banyak terbantu oleh jejaring bisnis ayahnya yang ia rawat dengan baik.
Titik penting datang pada 1984 ketika Peter mendirikan PT Rajawali Wira Bhakti Utama, cikal bakal Rajawali Corpora. Dari sinilah gurita bisnis Rajawali Group mulai berkembang pesat.
Dengan kemampuan membangun koneksi tingkat tinggi, Peter menggandeng Bambang Trihatmodjo, putra Presiden Soeharto, untuk mewujudkan impian sang ayah membangun hotel besar. Hasilnya, Grand Hyatt Jakarta berdiri megah. Kesuksesan ini membuka jalan bagi Rajawali Group menancapkan kuku di sektor properti.
Tidak berhenti di sana, Peter melangkah lebih jauh ke sektor media dengan mendirikan Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) pada 1987, stasiun televisi swasta pertama di Indonesia. RCTI menjadi tonggak era baru industri pertelevisian nasional. Di saat yang sama, Rajawali juga berekspansi ke sektor telekomunikasi melalui PT Excelcomindo Pratama (XL) dan transportasi lewat Express Group.
Salah satu ciri khas Peter adalah kemampuannya mengambil alih perusahaan yang tengah tertekan dan membalikkan keadaan (turnaround). Contoh paling ikonik adalah akuisisi Bentoel Group pada 1991 yang hampir bangkrut, namun berhasil ia pulihkan hingga kembali mencatat laba.
Meski sempat harus melepas RCTI pada 2002 karena perselisihan dengan mitra bisnis, serta menjual saham XL dan Bentoel di tahun-tahun berikutnya, langkah divestasi ini justru menjadi strategi cerdas. Modal dari penjualan aset-aset tersebut ia alihkan ke sektor yang lebih berbasis “aset keras” seperti properti, pertambangan, dan perkebunan.
Krisis moneter 1997–1998 hampir melumpuhkan Rajawali Group, namun ketangguhan Peter membuatnya bertahan. Ia melakukan serangkaian restrukturisasi bisnis dan fokus pada tiga pilar: properti, pertambangan, dan perkebunan.
Baca Juga: Suksesnya Edwin Soeryadjaya, dari Warisan Astra hingga Membangun Saratoga
Beberapa investasi besar lahir dari strategi ini, seperti akuisisi Archi Indonesia (produsen emas terbesar di Asia Tenggara), pengembangan Eagle High Plantations (perkebunan kelapa sawit), serta kepemilikan hotel-hotel mewah seperti The St. Regis Jakarta, The Laguna, Sheraton Senggigi, hingga Four Seasons Jakarta.
Meski telah banyak melakukan divestasi, Peter tetap mempertahankan kiprahnya di media melalui Rajawali Televisi (RTV) yang berdiri pada 2014, serta melanjutkan investasinya di sektor internet.
Di luar bisnis, Peter juga menaruh perhatian besar pada pendidikan dan kemanusiaan. Melalui Rajawali Foundation yang didirikan pada 2004, ia aktif mendukung penelitian kebijakan publik, pendidikan, serta bantuan bagi korban bencana alam.
Hingga kini, melalui Rajawali Corpora, Peter tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Forbes mencatat kekayaan Peter senilai $2,7 miliar di tahun 2025. Jumlah tersebut membuat Peter menempati posisi 28 orang terkaya di Indonesia.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait: