Kredit Foto: Ist
PT Pertamina (Persero) mencatatkan pendapatan US$40,99 miliar dan laba bersih sebelum pajak sebesar US$ 1,59 miliar sepanjang Januari–Juli 2025. Dengan begitu, sepanjang semester 1 2025 Pertamina berhasil meningkatkan capain laba bersih sebelum pajak sebesar 6% dari periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$ 1,50 miliar.
Meski menorehkan capaian positif pada laba bersih sebelum pajak, pendapatan Pertamina sedikit terkoreksi pada semester 1 2025 jika dibandingkan dengan capaian semester 1 2024 sebesar US$ 43,52 miliar.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menegaskan capaian tersebut sejalan dengan komitmen perseroan menjaga kontribusi rutin di atas Rp300 triliun per tahun dalam bentuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Dividen dan juga Pajak.
Baca Juga: Hingga Juli 2025, Pertamina Setor Rp225,6 Triliun ke Negara
"Hingga Juli 2025 kontribusi tersebut telah mencapai 225,6 triliun rupiah menjadikan Pertamina sebagai penyumbang dividen terbesar untuk Danantara sekaligus BUMN kontributor pajak terbesar," ujar Simon dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR, Kamis (11/9/2025).
Sementara itu, Wakil Direktur Utama Pertamina, Oki Muraza, menjelaskan penurunan pendapatan dipicu harga minyak mentah dunia yang merosot.
“Tentu ini sangat mempengaruhi keekonomian dan profitability dari Pertamina dan menurut beberapa konsultan, perkiraannya tahun depan itu akan terus turun hingga di angka US$59–US$60 per barel,” ujar Oki.
Oki menambahkan, harga minyak global dipengaruhi tiga faktor utama, yakni pasokan, permintaan, dan tensi geopolitik. Oversupply dari negara anggota OPEC+ dan non-OPEC disebut menekan harga, sementara permintaan melemah akibat perlambatan ekonomi global, termasuk di Cina.
Selain itu, Pertamina juga menghadapi tantangan di bisnis midstream. Oversupply tidak hanya terjadi pada minyak mentah, tetapi juga pada produk olahan kilang.
“Beberapa perusahaan besar itu mengalami impairment dan kendala dalam mendapatkan profitability. Ini kita bisa lihat beberapa perusahaan, bp, TotalEnergies, dan seterusnya termasuk Chevron memang mendapat tantangan dari rendahnya harga minyak dan oversupply,” kata Oki.
Kondisi tersebut berdampak pada spread atau selisih harga masuk kilang dengan harga produk yang semakin rendah. Tantangan serupa juga dialami perusahaan energi global, baik National Oil Company (NOC) maupun International Oil Company (IOC).
Baca Juga: Pertamina Integrasikan 3 Subholding, Target Rampung Akhir 2025
“Dan diperkirakan ada 17 kilang yang akan tutup menjelang tahun 2030. Ini tentu tantangan kita bersama dengan semangat untuk mengejar ketahanan energi, menciptakan lapangan pekerjaan, tentu kita semuanya akan merawat sebaik mungkin seluruh kilang yang kita miliki,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait: