Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Karateka Cantik, Mahasiswi Beasiswa Sawit

        Karateka Cantik, Mahasiswi Beasiswa Sawit Kredit Foto: Abdul Aziz
        Warta Ekonomi, Aceh Selatan -

        Anak kedua karyawan rendahan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di Luwu Timur ini telah mengoleksi nilai 3,9 dan 3,87 di jurusan Teknik Industri Politeknik Aceh Selatan. 

        Perempuan mungil itu nampak lincah mempertunjukkan rangkaian Kata (jurus-jurus) saat berlatih sendirian di halaman kampus Politeknik Aceh Selatan (Poltas), Kamis sore dua pekan lalu. 

        Kampus dengan deretan gedung yang tertata rapi itu terletak di komplek reklamasi pantai di kawasan Jalan Merdeka, persis di dekat teluk Tapak Tuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan, Provinsi Aceh. 

        Dari 30 orang Gakusei (murid) yang berlatih pada Perguruan Karate Gabdika Shitoryukai di kampus itu, hanya Siti Dwi Fatimah Azahra Amri yang baru sampai level Yudansha (Gakusei sabuk hitam Dan I), sisanya masih Yukyusha (murid pemula). Yunna Zulfikar yang menjadi Sensei (guru) di sana, seorang lelaki Sabuk Hitam Dan IV.  

        Perempuan 19 tahun ini sudah menggeluti beladiri asal Jepang itu sejak di bangku kelas 4 Sekolah Dasar (SD), persis sejak ibunya, Suryani, hijrah dari Desa Lagego, Kecamatan Burau, Kabupaten Luwu Timur ke Kota Palopo Provinsi Sulawesi Selatan. Suryani menjadi tenaga honor di Kantor DPRD Kota Palopo.  

        Hingga sekarang sesungguhnya, perempuan yang karib disapa Dwi ini masih menjadi bagian dari Perguruan Karate Gojukai Kota Palopo. Namun lantaran perguruan ini tidak ada di Aceh Selatan, dia numpang latihan lah di Gabdika Shitoryukai tadi. 

        “Untuk membuka cabang perguruan sendiri sebenar sudah bisa, namun saya masih fokus dengan perkuliahan. Itu makanya saya numpang latihan saja di kampus,” cerita Dwi saat berbincang dengan wartaekonomi usai latihan.

        Sepanjang menggeluti beladiri tadi, Dwi sudah sering ikut kejuaraan, baik di tingkat kabupaten, maupun provinsi di Sulawesi. Malah dia pernah merai juara 1 Kata pada Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) tingkat nasional. 

        Setelah kuliah di Poltas, dia sudah pula menggondol sejumlah medali dari hasil mengikuti Kejuaraan Daerah Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia (Kejurda-FORKI) di Banda Aceh dan Pekan Olahrga Mahasiswa Daerah (POMDA) di Meulaboh, Aceh Barat. 

        "Kalau di Kejurda saya dapat medali perunggu. Nah, di Pomda, saya turun di dua kategori; Kumite dan Kata. Kumite dapat medali perunggu dan Kata medali perak," Dwi nampak sumringah. Sesekali dia menyeka keringat di keningnya yang masih bercucuran. 

        Tak hanya di karate Dwi mampu mendulang prestasi. Sewaktu menjadi siswa jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Palopo, Dwi selalu kebagian juara, malah di kelas 3, dia menjadi juara 1 di kelasnya. 

        Di Poltas, anak kedua dari tiga bersaudara ini tercatat sebagai mahasiswi semester tiga program studi Teknik Industri. Dwi bukan mahasiswi reguler, tapi adalah satu dari tiga puluh orang penerima Beasiswa Sawit program Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) angkatan 2024.  

        Kali Pertama Perjalanan Panjang

        Mata Dwi memandang jauh menembus kaca yang menjadi dinding pembatas di ruang tunggu Bandar Udara Internasional Kualanamu, Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara (Sumut) itu awal September tahun lalu.

        Tak terasa dia sudah berada di sana setelah tadi subuh masuk ke dalam perut Citilink dan kemudian terbang dari Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, Maros, Sulawesi Selatan dan kemudian singgah sebentar di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten.  

        Asap putih tipis nampak mengebul dari cup mie instan yang dia pegang. Sambil menyeruput mie kuah itu, matanya berkaca-kaca, butiran air pun kemudian jatuh dari kelopak mata itu. 

        "Tiba-tiba merasa kangen saja sama ibu, sama adek. Soalnya ini kali pertama saya jauh dari orangtua, dan kali pertama pula naik pesawat terbang," malu-malu Dwi bercerita.

        Terbang pertama kali itu benar-benar membikin perasaan Dwi campur aduk; antara seru-seruan dan perasaan takut. Takut pesawat jatuh membikin Dwi tak bisa memejamkan mata. 

        "Saat terbang dari Jakarta ke Medan, saya sempat panik lantaran pesawat mengalami turbulensi. Saya istighfar saja sambil memegangi pegangan kursi," Dwi tertawa mengenang.    

        Sebelumnya, butuh waktu sembilan jam bagi Dwi untuk tiba di Bandara Hassanuddin setelah diantar keluarganya pakai kendaraan pribadi dari Kota Palopo. "Sekitar jam 2.30 subuh baru sampai di bandara dan jam 5 subuh terbang," kenangnya. 

        Tiba di Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda di kawasan Kabupaten Aceh Besar, perjalanan Dwi ternyata belum berakhir. Sebab begitu dijemput oleh pihak kampus di bandara, dia masih harus menghabiskan waktu antara 8-9 jam naik Hiace milik kampus, menyusuri pantai barat "Negeri Serambi Mekkah" itu hingga kemudian tiba di Tapak Tuan. 

        "Ini perjalanan yang sangat seru, setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh, saya tiba di daerah yang benar-benar asing bagi saya, tanpa keluarga pula. Namun itu tadi, lantaran tujuan saya untuk menimba ilmu, semua hal-hal yang membikin saya melow, saya singkirkan saja. Awalnya sangat berat, namun oleh tekad yang bulat, alhamdulillah bisa teratasi," tegasnya. 

        Ikuti ‘Jejak’ Ayah Lewat Beasiswa Sawit

        Umur Dwi dengan abangnya, Muhammad Eka Fauzan Amri hanya selisih setahun. Itulah makanya saat sekolah pun, keduanya cuma terpaut satu tingkat, termasuk saat masuk ke jenjang perkuliahan.

        Gara-gara itu pula, urusan beasiswa sawit, Dwi tak terlalu repot mencari informasi dan referensi. Sebab Fauzan sudah lebih dulu setahun ikut seleksi program andalan BPDP itu dan diterima menjadi mahasiswa Diploma 4 jurusan Teknik Mesin di Politeknik Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta. 

        "Tadinya pilihan pertama saya Politeknik LPP Yogya, biar dekat sama abang, tapi yang lulus justru pilihan kedua, di sini. Walaupun enggak bisa bareng abang, saya tetap bersyukur, saya lulus beasiswa,” suara perempuan ini bergetar. 

        Berdua lulus beasiswa sawit kata Dwi, benar-benar telah sangat meringankan beban keuangan orang tuanya. Maklum, ayah mereka, Amri, hanya sebagai karyawan pelaksana (karpel) di bagian pres-an, di salah satu Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang ada di Desa Lagego.  Sementara ibu mereka ya itu tadi, cuma honorer di kantor DPRD. 

        “Adik saya masih ada satu orang yang butuh biaya. Dengan adanya beasiswa ini, keluarga kami benar-benar sangat tertolong. Terimakasih banyak kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Perkebunan dan BPDP yang telah memberikan kami kesempatan,” ujarnya. 

        Menengok keadaan orangtuanya tadi, Dwi tak mau menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Belajar sungguh-sungguh menjadi tekadnya. Dan itu tidak sekadar omongan. Sebab terbukti di semester satu dan dua, Dwi berhasil mengoleksi nilai 3,9 dan 3,87. 

        Baca Juga: Perkebunan Kelapa Sawit Sebagai Carbon Sink

        Baca Juga: BPDP Raih Penghargaan dari HIPMI Sultra

        “Saya…,ingin sekali membahagiakan orangtua,” suara perempuan cantik ini terbata-bata. “Mau dimanapun nanti saya dapat pekerjaan, enggak jadi masalah. Yang pasti, saya ingin mengikuti jejak ayah, bekerja di PKS,” tekadnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Abdul Aziz
        Editor: Abdul Aziz

        Bagikan Artikel: