Kredit Foto: Abdul Aziz
Sempat gagal di psikotes, Mutiara Cahyani kini telah semester 7 jurusan Sistim Teknologi Informasi. Bagi dia ilmu semacam ini telah teramat penting bagi petani sawit.
Gang kecil di kawasan Percut Sei Tuan, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut) itu nampak lengang pada Selasa pagi pekan lalu saat wartaekonomi bertandang ke salah satu rumah kos sederhana yang tak jauh dari kampus Institut Teknologi Sawit Indonesia (ITSI), di jalan Williem Iskandar itu.
Layaknya kos-kos-an di gang kota besar, tentu tak ada yang kelihatan istimewa. Hanya saja di salah satu kamar yang berukuran sekitar 3x3 meter itu, tinggal seorang mahasiswi yang justru sedang menyiapkan langkah besar dalam hidupnya. Namanya Mutiara Cahyani.
Perempuan kelahiran Desa Sassa, Kecamatan Baebunta, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, 22 tahun lalu bukan mahasiswi reguler, tapi salah seorang penerima Beasiswa Sawit angkatan 2022.
Beasiswa sawit ini adalah salah satu program unggulan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dan Direktorat Jenderal Perkebunan (Ditjenbun) Kementerian Pertanian.
“Besok saya magang ke Kalimantan Utara (Kaltara), Pak. Insya allah hingga Desember,” sambil memberesi sejumlah peralatan yang akan dibawa magang, Mutiara tersenyum membuka percakapan.
Putri pasangan Sardi Djannama dan Juharisa Haerul ini tak pernah menyangka akan terbang ke daratan yang berbatasan langsung dengan jiran Malaysia itu, dan berbulan-bulan pula di sana. “Dari ITSI kami berangkat 4 orang, kebetulan saya kebagian di kantor perkebunan sawit di sana,” tambahnya.
Sama seperti ke Kaltara tadi, perempuan yang karib dipanggil Tia ini juga tak pernah menyangka akan lulus beasiswa sawit. Soalnya empat tahun lalu dia sudah sempat gagal di psikotes. Waktu itu, dia ikut seleksi bersama saudara sepupunya; Chairil Aswad yang kemudian lolos diploma tiga di Institut Teknologi Sains Bandung (ITSB).
Lebih jauh Tia cerita, cikal bakal dia dan sepupunya ikut seleksi beasiswa sawit ini berhembus dari mulut saudaranya yang tergabung di Kelompok Sandua Jaya. Sardi yang mendengar info itu sontak mendukung Tia untuk ikut seleksi.
“Hidup kita dari sawit, ambil saja beasiswa itu, dalami ilmunya,” begitulah Sardi yang punya kebun kelapa sawit sekitar dua hektar itu, menyemangati putrinya. Selain jadi petani sawit, Sardi juga berprosesi sebagai pengusaha mebel kecil-kecilan.
Hanya saja itu tadilah. “Sedih juga sih waktu itu, tapi saya tidak menyerah. Tahun berikutnya saya coba ikut seleksi lagi, alhamdulillah akhirnya saya lolos,” perempuan ini sumringah sambil mempermainkan ujung jilbabnya.
Waktu itu kata Mutiara, kampus pilihan pertamanya adalah Institut Pertanian Stiper (Instiper) Yogyakarta, lalu ITSI Medan. Soalnya keduanya menyodorkan jurusan yang berbau teknologi.
Yang berbau teknologi ini sengaja dipilih Tia lantaran dia melihat situasi sekarang sudah serba mengandalkan teknologi. Ini berarti pula, masyarakat Luwu Utara yang sudah beralih dari tanaman coklat ke sawit, musti dicekoki teknologi. Biar hasil sawit mereka semakin bagus. “Membayangkan semua itulah makanya saya mengambil jurusan yang berbau teknologi. Alhamdulillah saya diterima di ITSI,”katanya.
Tia lulus, dua tahun kemudian adiknya, Enfiq Hadiansyah, merasakan hal yang sama; lulus diploma satu di Akademi Komunitas Perkebunan Yogyakarta (AKPY). Kini Enfiq telah bekerja di PT. Astra Agro Lestari kebun Kalimantan. “Kami sama-sama penerima beasiswa, keluarga kami benar-benar sangat terbantu,” katanya.
Kalau Pertama ‘Merantau’
Hijrah dari Luwu Utara ke Deli Serdang, adalah pengalaman pertama Tia meninggalkan keluarga, lintas pulau pula. Dan… kali pertama pula naik pesawat. “Excited banget, mana tiket dan semua biaya ditanggung BPDP lagi. Benar-benar kayak mimpi saja,” Tia tertawa.
Perempuan cantik ini tak menampik kalau semula, sang mama, Juharisa, sangat keberatan anak sulungnya jauh pergi ke seberang pulau. Tapi setelah Tia meyakinkan bahwa dia pergi untuk mengejar cita-cita, akhirnya sang mama memberi restu. Adanya saudara mereka di Medan juga semakin membikin hati Juharisa lebih tenang.
Di ‘perantauan’ Tia benar-benar menghadapi tantangan baru. Dia malah sempat mengalami culture shock. “Di sini terkenal keras. Waktu dengar orang-orang ngomong, saya kaget, saya pikir mereka marah. Rupanya begitulah kebiasaan cara ngomong mereka. Lama-lama saya menjadi terbiasa,” ujarnya.
Perjuangan Tia di bangku kuliah juga tak bisa dibilang ringan meski indeks prestasinya terus menanjak dari yang tadinya di semester awal 3,3 sekarang sudah 3,6. “Alhamdulillah meningkat terus, ini membikin saya bertambah semangat,” katanya.
Sebagai sulung dan perempuan pula, di sela aktifitasnya yang tergolong padat, kerinduan Tia pada kampung halaman selalu membuncah. Kenangan masa-masa membantu orang tuanya di kebun, terus berseliweran. “Saya sering bantu panen, walau hanya ngutip brondolan atau angkut hasil. Kadang juga bantu di usaha mebel,” rada tercekat suara Tia bercerita.
Menatap Masa Depan
Tak terasa Tia sudah semester tujuh. Seminar proposal, bahan skripsi menjadi hari-harinya di samping dia musti ikut magang ke Kaltara tadi. “Magang ini penting buat saya, karena akan menambah pengalaman sebelum benar-benar masuk dunia kerja,” ujarnya.
Lalu apa mimpi Tia setelah lulus, apakah akan kembali ke kampung halaman seperti permintaan Bupati Luwu Utara yang sempat memberi wejangan kepada anak-anak beasiswa sawit angkatannya sebelum berangkat ke kampus tujuan masing-masing?
“Pikiran untuk kembali ke kampung halaman itu tentu ada. Apalagi bila ada peluang bagi saya untuk mempraktekkan ilmu yang telah saya dapatkan, saya tentu memilih kembali ke Luwu Utara. Tapi kalau ada pekerjaan lain yang sesuai jurusan dan menjanjikan, tentu saya ambil juga,” bijak Tia menjawab.
Terlepas dari apa yang telah dia bilang sedari awal, Tia benar-benar sangat berterimakasih kepada BPDP dan Ditjen Perkebunan yang telah memberikan dia dan adiknya kesempatan menjadi mahasiswi dan mahasiswa penerima beasiswa sawit.
“Mudah-mudahan semakin banyak anak-anak petani sawit yang bisa kuliah lewat program ini. Karena beasiswa ini betul-betul membuka jalan bagi kami, terlebih kepada petani yang penghasilannya masih pas-pasan,” Tia berterus terang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz
Tag Terkait: