Kredit Foto: Abdul Aziz
Melki Kadiwaru bertekad untuk mengeduk ilmu sebanyak-banyaknya dan kemudian pulang kampung untuk menjadi pengusaha sawit bersama teman-temannya.
Siang itu suasana kampus Institut Teknologi Sawit Indonesia (ITSI) di kawasan jalan Williem Iskandar, Deli Serdang, Sumatera Utara, tampak begitu hidup. Di sisi utara lapangan futsal yang berdekatan dengan asrama anak-anak mahasiswa baru itu, sejumlah mahasiswa nampak ngariung. Macam-macam aktifitas mereka.
Ada yang diskusi, baris berbaris yang diselingi sorakan, ada pula yang berlatih silat. Khusus kegiatan yang satu ini, terpusat di arena futsal tadi. Pesertanya tak banyak. Hanya tiga orang; dua orang murid sisanya pelatih. Seorang lelaki berkulit legam namun tegap, nampak memimpin pemanasan.
Dia lah Melkianus Kadiwaru, mahasiswa semester 5. Dua tahun lalu pesilat Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) ini terbang dari Kampung Arso, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua untuk menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa penerima beasiswa sawit program Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP).
Anak ke-6 dari 11 bersaudara ini langsung tersenyum ramah saat wartaekonomi menjambanginya. Tak butuh waktu lama suasana akrab langsung berpendar saat duduk meleseh sambil berbincang di lantai semen lapangan futsal itu.
Cerita tentang kuliahnya, kisah hidupnya yang penuh warna, tentang sawit di kampungnya, masa kecil, keluarga, hingga cita-cita nya untuk membangun tanah kelahiran pun mulai mengalir.
Tadinya jebolan jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial Sekolah Menengah Atas Negeri 4 Keerom ini tak tahu apa-apa soal penyakit tanaman kelapa sawit meski sejak kecil dia sudah terbiasa dengan tanaman asal Mauritius, Afrika Barat itu.
Tapi setelah kuliah di ITSI, Melki pun paham apa itu hama, penyakit dan seperti apa mengendalikannya supaya tanaman sawit tumbuh optimal, ilmunya sudah dia lahap. “Saya sudah sering praktek. Kebetulan di kampus ini ada kebun kelapa sawit yang kami jadikan tempat praktek,” terangnya sambil menunjuk rerimbunan pohon kelapa sawit di sisi timur lapangan futsal itu.
Kalau saja tidak ada informasi dari Koperasi Sawit di Keerom itu, dan bantuan seorang ibu yang baik hati, bisa jadi Melki tidak sampai ke Deli Serdang dan bahkan tidak pernah akan menikmati beasiswa sawit.
Pada 2023 lalu, disuruhlah Melki mengisi sejumlah formulir dan satu formulir khusus yang bertuliskan Orang Asli Papua (OAP). Setelah semua formulir terisi, si ibu tadi selanjutnya yang mengurusi semua.
Jauh di lubuk hati Melki yang paling dalam, sebenarnya dia ingin menjadi tentara. Namun lantaran beasiswa itu sudah disodorkan dan ternyata kemudian lulus pula, hasratnya untuk menjadi tentara tadipun dia kubur dalam-dalam.
Ada yang unik dalam pemilihan jurusan. Kebetulan di Arso sedang musim replanting tanaman sawit yang dulu digawangi oleh PT. Perkebunan Nusantara. Kalau sudah ditanam tanaman baru, tentu butuh ilmu perawatan. Sementara orang yang bisa diharapkan untuk itu tidak seberapa. Pastinya, kuranglah. Menengok kenyataan inilah kemudian Melki memilih jurusan proteksi tanaman.
Dari Mengutip Berondolan Hingga Memanen
Jauh sebelum Melki lahir, perkebunan kelapa sawit sudah ada di Keerom. Dibawa oleh perusahaan pelat merah, PTPN II. Kebun sawit itu, sebahagian menjadi inti dan sebahagian lagi plasma untuk penduduk asli, maupun warga transmigrasi.
Lantaran itulah dari kecil Melki sudah akrab dengan sawit. Dari kelas 6 SD dia malah sudah terbiasa memungut berondolan yang berjatuhan di sekitar pohon kelapa sawit milik ayahnya, Robert Kadiwaru.
“Waktu SMP, saya sudah coba-coba angkat Tandan Buah Segar (TBS), tapi ternyata masih hanya bisa mengangkut ke gerobak. Setelah saya SMA baru lah mulai nekat kerja keras, angkat sawit hingga memanen,” sumringah lelaki ini mengenang.
Hanya saja, hasil kerja keras tadi sempat juga nyerempet ke hal-hal yang tak lazim. “Kalau sudah gajian kita minum-minum. Kalau sudah mabuk, malak di jalan. Truk sawit, truk kayu kita berhentikan. Minta rokok. Kalau enggak ada rokok, kita minta uang. Uangnya kita pakai beli rokok atau minuman ditambah lagi,” malu-malu Melki mengenang.
Kini, semua itu sudah jadi kenangan. Yang selalu terbayang adalah pesan Robert agar Melki baik-baik di perantauan, pandai membawa diri. “Sempat berat juga saya meninggalkan Bapak. Akan sendirian mengurusi kebun. Kalau saya ada di sana, saya yang selalu membantu,” suara lelaki ini terdengar lirih.
Mengingat pesan bapaknya itu pula lah Melki benar-benar serius kuliah. Dia sadar pula, kuliah gratis ini adalah kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan. Enggak boleh lagi kayak sekolah dulu, yang seenaknya saja bolos.
“Di sini kita ditekankan untuk bertanggung jawab. Jangan sampai absen ada yang bolong. Tiga kali enggak hadir, tidak bisa ikut ujian. Saya ikuti aturan itu semua. Saya harus bertanggungjawab sampai saya lulus,” tegasnya.
Tekad itu nampaknya tidak sekadar isapan jempol. Buktinya indeks prestasi Melki berada di angka 3,29. “Saya akan tingkatkan lagi nilai itu. Tentu dengan belajar yang lebih serius lagi,” tekadnya.
Pinang, Sirih, dan Kerinduan
Meski jauh dari kampung, Melky tetap membawa kebiasaan khas tanah kelahirannya; makan pinang. Di asrama kampus, ada pohon pinang yang sengaja ditanam oleh pihak kampus. Melki sering meminta izin untuk mengambil buahnya.
“Lantaran tidak ada kayu untuk menjolok, terpaksa saya memanjat sendiri. Habis ambil mayang, baru kita gantungkan dibahu, kasi turun pelan-pelan,” terkekeh Melki bercerita.
Hanya saja, makan pinang di ‘tanah rantau’, tidak seenang di kampungnya. Sebab di sana, biasanya Melki mengunyah pinang itu campur kapur kering seperti bedak. “Tapi di sini, kapurnya cair. Kalau berlebihan, akan berasa panas dan mulut akan kayak terbakar,” katanya.
Mendapati yang tak lazim itulah makanya Melki selalu rindu akan kampung halamannya. Mau sering menelepon Robert, Melki tak bisa. Sebab Robert tak pandai memakai android. Jadilah kalau rindu, Melki menelepon saudara untuk diteruskan kepada bapaknya itu.
Inspirasi dari Sumatera
Semenjak merantau ke Sumatera Utara, pandangan Melki tentang sawit drastis berubah. Ia takjub melihat petani mandiri yang bisa mengolah hasil sawit hingga menjadi produk rumah tangga.
“Saya lihat ada yang bisa buat Crude Palm Oil (CPO) rumahan. Jadi sabun, sampai jadi minyak goreng. Itu luar biasa. Di Papua belum ada,” katanya.
Menengok semua itu, Melki semakin bersemangat untuk pulang kampung membawa banyak ilmu. “Mau cari ilmu banyak, cari kenalan di sini. Nanti rangkul kawan-kawan, sama-sama kembangkan usaha sawit di sana. Usaha bersama,” wajah lelaki ini nampak semangat.
Bagi Melki, sawit tidak lagi hanya sekadar sumber penghasilan, tetapi juga jalan perubahan. Dari kecil memungut brondol, sempat terseret kenakalan remaja, hingga kini menjadi mahasiswa penerima beasiswa. Semua itu adalah perjalanan panjang yang membentuknya.
“Pokoknya tiap bulan pasti ada duit. Di Sumatera saya lihat sawit bisa bikin orang bangun rumah, beli kendaraan, hidup sejahtera. Itu yang bikin saya yakin, sawit bisa kasih ekonomi lebih bagus di kampung saya,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz
Tag Terkait: