Kredit Foto: Ist
Lembaga investasi pemerintah, Danantara, tengah menjadi sorotan setelah langkahnya menempatkan sebagian dana di Surat Berharga Negara (SBN) menuai kritik. Padahal, lembaga ini digadang sebagai “mesin investasi nasional” yang bertugas menggerakkan ekonomi tanpa membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Berdasarkan regulasi, Danantara berhak menerima aliran dana dari dividen badan usaha milik negara (BUMN) setiap tahun. Jumlahnya dapat mencapai ratusan triliun rupiah. Dana tersebut diamanatkan untuk memperkuat sektor produktif, industri masa depan, dan pembangunan bernilai tambah.
Namun, Menteri Keuangan sekaligus Dewan Pengawas Danantara, Purbaya Yudhi Sadewa, mempertanyakan strategi lembaga tersebut yang memilih menempatkan sebagian dana di SBN.
Baca Juga: Ekonom Ingatkan Risiko 'Kemanjaan SDA', Danantara Malah Dorong Investasi Bernilai Ganda
“Anda ini dapat dividen dari BUMN, lalu uangnya diparkir lagi ke SBN. Uang kembali lagi ke pemerintah. Lantas keahlian Anda apa?” ujarnya.
Pernyataan itu memicu perdebatan publik mengenai apakah Danantara hanya “memutar uang” tanpa menciptakan nilai tambah ekonomi.
Menanggapi hal tersebut, Ajib Hamdani, Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), menilai pandangan itu perlu ditempatkan dalam konteks yang lebih luas. Menurutnya, mekanisme penempatan dana seperti itu lazim diterapkan lembaga pengelola dana abadi negara atau sovereign wealth fund (SWF) di berbagai negara.
“Penempatan dana di SBN adalah strategi umum yang digunakan SWF global, terutama pada masa awal pembentukan dana atau ramp-up period,” ujar Ajib.
Baca Juga: Danantara Tempatkan 80% Dana Investasi di Pasar Modal
Ia menjelaskan, proyek strategis seperti energi baru, infrastruktur, atau industri teknologi tidak bisa langsung dibiayai karena membutuhkan studi kelayakan, koordinasi, dan waktu.
“Sambil menunggu, dana harus tetap menghasilkan, bukan diam di rekening,” tambahnya.
Instrumen seperti SBN yang likuid dan berdenominasi rupiah dipilih untuk menjaga nilai modal negara tanpa mengambil risiko yang belum terukur. Menurutnya hal tersebut merupakan strategi jangka pendek untuk memastikan kemampuan jangka panjang.
Ajib menegaskan, alokasi ke pasar publik tidak berhenti di tahap awal. Proporsi investasi di instrumen publik akan menurun seiring meningkatnya alokasi pada proyek strategis.
“Ini sudah sangat umum di dunia SWF. Norges, GIC, Temasek, semuanya tetap mempertahankan sebagian portofolio di public markets sebagai jangkar likuiditas dan diversifikasi risiko,” paparnya.
Baca Juga: Bos Danantara Buka Suara Usai Purbaya Tolak Bayar Utang Kereta Cepat Pakai APBN
Langkah Danantara, kata Ajib, juga sejalan dengan praktik lembaga serupa di dunia. Ia mencontohkan beberapa lembaga serupa didunia seperti Temasek di Singapura, Kuwait Investment Authority, hingga Abu Dhabi Investment Authority juga memulai dengan investasi publik seperti obligasi dan saham sebelum masuk ke proyek sektor riil.
Menurut Ajib, pembelian SBN bukan penyimpangan, melainkan bagian dari tahapan normal SWF dalam membangun portofolio dan tata kelola investasi jangka panjang. Ia menambahkan, publik kerap keliru mengira dana besar bisa langsung ditanamkan ke proyek strategis.
“Membangun PLTA saja bisa butuh enam tahun konstruksi dan sepuluh tahun untuk impas. Kalau seluruh dana langsung dikucurkan, itu justru berisiko tinggi,” ujarnya.
Selama masa transisi ini, penempatan dana di SBN menjaga likuiditas sekaligus memastikan uang negara tetap berputar di sistem keuangan nasional. Ke depan, komposisi antara public investment dan private investment akan makin seimbang, mengikuti arah Strategic Asset Allocation (SAA) yang telah disusun Danantara.
Baca Juga: Dividen BUMN Masuk Danantara, Kantor Purbaya Catat Setoran PNBP Baru Rp344,9 triliun
“Public market tetap penting, tapi porsinya akan makin proporsional ketika pipeline proyek strategis mulai jalan,” kata Ajib.
Ia menuturkan, isu sekuritisasi dan penggunaan aset sebagai jaminan untuk pembiayaan lanjutan bersifat teknis dan memerlukan pembahasan tersendiri.
“Hal-hal seperti itu butuh pembahasan tersendiri, karena sifatnya teknis dan melibatkan aspek prudensial. Tapi secara prinsip, semua dilakukan dalam kerangka tata kelola yang hati-hati,” jelasnya.
Ajib menegaskan, kritik publik terhadap Danantara seharusnya menjadi momentum untuk meningkatkan literasi mengenai peran dan mekanisme kerja SWF.
“Sovereign wealth fund itu bukan lembaga yang mencari untung instan. Mereka menjaga nilai aset negara lintas generasi,” katanya.
Baca Juga: Krakatau Steel (KRAS) Minta Dukungan Dana USD500 Juta ke Danantara
Mandat Danantara, lanjutnya, tetap pada pembiayaan industrialisasi dan penguatan kemandirian ekonomi nasional.
“Tapi untuk sampai ke sana, perlu waktu dan proses yang jelas. Dan semua itu sedang dibangun sekarang,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo