Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Sembilan Tahun NDC, Emisi Hutan Indonesia Justru Naik

        Sembilan Tahun NDC, Emisi Hutan Indonesia Justru Naik Kredit Foto: Antara/Bayu Pratama S
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sembilan tahun sejak pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen Nationally Determined Contribution (NDC), bencana ekologis masih terus berulang di berbagai daerah. Sementara keikutsertaan pemerintah dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) setiap tahun dinilai belum memperjelas arah pencapaian target iklim nasional.

        Menjelang COP 30 di Brazil, yang akan menjadi ajang diplomasi global membahas pengelolaan hutan, laut, dan biodiversitas, pemerintah Indonesia diingatkan untuk memperkuat komitmen iklimnya. Namun, realisasi janji untuk mencapai nol emisi karbon dari sektor kehutanan atau FOLU Net Sink masih jauh dari harapan. Sektor yang diharapkan menjadi penyerap karbon justru dinilai masih banyak melepaskan emisi.

        Analisis Madani Berkelanjutan dan Pantau Gambut menunjukkan, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih menjadi ancaman serius. Berdasarkan data perbandingan tahunan, sejumlah wilayah terus menjadi episentrum karhutla dengan pola yang konsisten.

        Hingga September 2025, Kalimantan Barat tercatat memiliki Area Indikatif Terbakar (AIT) terluas mencapai 123.076 hektare dari total lebih dari 300 ribu hektare AIT nasional. Dari jumlah itu, 78.267 hektare berada di wilayah yang termasuk dalam rencana operasional subnasional FOLU Net Sink.

        Baca Juga: KLH: Pemulihan Gambut dan Mangrove Jadi Kunci Hadapi Krisis Iklim

        Ekosistem gambut juga menghadapi kondisi serupa. Data Pantau Gambut mencatat, pada Juli–Agustus 2025, luas area bekas terbakar (burned area) di lahan gambut mencapai 26.761 hektare, dengan Riau dan Kalimantan Barat menjadi provinsi dengan kerusakan terluas. Sebanyak 56% karhutla di periode tersebut terjadi di area berizin HGU sawit dan PBPH.

        “Fragmentasi kelembagaan menjadi sumber masalah yang masih berlarut. Padahal, sebuah ekosistem seperti gambut merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipilah secara administratif maupun sektoral,” ujar Putra Saptian, Juru Kampanye Pantau Gambut dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (22/10/2025).

        Ia menilai pemisahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan justru memperparah kompleksitas koordinasi dan tata kelola lingkungan. Selain itu, tidak diperpanjangnya Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) turut memperlemah upaya pemulihan ekosistem gambut.

        Berdasarkan catatan Madani Berkelanjutan, setelah diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020, BRGM kehilangan kewenangan melakukan pemantauan dan supervisi di area konsesi yang berisiko tinggi terhadap kebakaran. Akibatnya, lembaga tersebut tidak lagi memiliki otoritas memastikan pemeliharaan infrastruktur restorasi berjalan efektif.

        Baca Juga: WRI Indonesia Serukan Transisi Ekonomi Rendah Karbon yang Adil untuk Alam, Iklim, dan Manusia

        Deputi Direktur Madani Berkelanjutan, Giorgio Budi Indrarto, menilai pembubaran BRGM menggambarkan pola berulang dalam tata kelola lingkungan di Indonesia.

        “Pembubaran BRGM menguatkan pola berulang dalam tata kelola lingkungan hidup di Indonesia, yaitu membentuk lembaga saat krisis dan diikuti pembubaran ketika tekanan mereda. Pola ini mencerminkan pendekatan ad-hoc yang mengandalkan logika kedaruratan ketimbang desain kelembagaan jangka panjang. Dalam konteks ini, BRGM bukan hanya gagal dilembagakan, tetapi sejak awal memang tidak didesain untuk bertahan,” jelasnya.

        Peneliti Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin, menegaskan bahwa sinergi lintas sektor menjadi kunci pencapaian target iklim.

        Menurutnya untuk mencapai target iklim, terutama dari sektor FOLU, maka kerja-kerja pemerintah tidak boleh sektoral. Semua harus bersinergi untuk memiliki visi yang sama, menekan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan, apalagi di lahan gambut.

        Baca Juga: MADANI & Satya Bumi: PSN Ancam Hutan Alam, Iklim, dan Hak Masyarakat

        "Jika pembukaan lahan skala besar masih terus dilakukan dan penanganan karhutla masih belum optimal, maka upaya mencapai target penurunan 31,89% emisi karbon tanpa syarat dan 43,20% dengan syarat akan semakin berat bagi Indonesia. Ajang COP 30 Brazil pun bisa hanya menjadi pepesan kosong belaka,” pungkasnya.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Penulis: Djati Waluyo
        Editor: Djati Waluyo

        Bagikan Artikel: