Kredit Foto: Istimewa
Industri asuransi syariah tengah menghadapi tantangan berat di tengah ketatnya persaingan dan peningkatan tuntutan regulasi di Indonesia. Sejumlah perusahaan kini berpacu memperkuat permodalan guna memenuhi ketentuan ekuitas minimum yang akan berlaku dalam dua tahun ke depan, sementara sebagian lainnya masih berjuang untuk bertahan.
Pakar Asuransi Syariah, Erwin Noekman, menilai bahwa persoalan utama industri tidak hanya terletak pada skala bisnis yang belum efisien, tetapi juga kepercayaan publik yang masih rapuh.
Baca Juga: Kecelakaan Bus Pemalang Ungkap Celah Perlindungan Asuransi
“Industri asuransi, yang berlandaskan asas kepercayaan, kini dituntut membuktikan diri kepada pemegang polis dan masyarakat bahwa ia layak dipercaya serta dapat diandalkan,” ujarnya, dilansir Rabu (29/10).
Erwin menilai, tantangan tersebut semakin kompleks seiring dengan diberlakukannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 23 Tahun 2023. Hal tersebut mewajibkan perusahaan asuransi syariah memiliki ekuitas minimum sebesar Rp100 miliar paling lambat pada 31 Desember 2026.
“Aturan ini bertujuan memperkuat stabilitas industri dan melindungi pemegang polis, namun di sisi lain memberi tekanan besar bagi perusahaan kecil yang masih lemah modal,” jelasnya.
Sejumlah perusahaan kini menyiapkan strategi, mulai dari merger dan akuisisi, pemisahan unit syariah (spin-off), hingga langkah korporasi seperti penerbitan saham baru (rights issue). Meski demikian, Erwin menilai belum ada satu pendekatan yang bisa menjadi solusi tunggal.
“Merger bisa memperbesar skala bisnis, memperkuat ekuitas, dan meningkatkan efisiensi operasional. Namun, integrasi pasca-merger juga membawa risiko tersendiri, terutama dalam penyatuan sistem, proses, dan budaya perusahaan,” terangnya.
Selain merger, spin-off unit syariah menjadi langkah yang wajib dijalankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 dan POJK Nomor 11 Tahun 2023. Erwin menjelaskan, tujuan utama kebijakan ini adalah agar entitas syariah dapat beroperasi secara mandiri dan fokus pada prinsip syariah.
“Spin-off cocok jika entitas syariah sudah cukup mandiri dan ingin berkembang secara khusus. Dengan begitu, transparansi dan daya tarik terhadap investor syariah akan meningkat,” katanya.
Bagi perusahaan yang kesulitan memenuhi ketentuan modal minimum, opsi lain yang dapat ditempuh adalah bergabung ke dalam Kelompok Usaha Perasuransian (KUPA). Melalui skema ini, entitas kecil bisa mendapatkan dukungan modal dan manajemen dari induk usaha yang lebih besar.
“Opsi paling realistis bagi perusahaan kecil adalah menjadi bagian dari KUPA, meski dengan konsekuensi berkurangnya otonomi,” tambahnya.
Erwin juga menilai transformasi digital dan efisiensi operasional menjadi faktor penting menjaga daya saing industri. Digitalisasi proses klaim, underwriting, serta pengembangan produk berbasis teknologi diyakini mampu memperkuat posisi asuransi syariah di tengah perubahan pasar.
Menurutnya, kombinasi antara merger selektif, rights issue, dan efisiensi biaya merupakan strategi yang paling realistis untuk menghadapi target pemenuhan modal pada 2026 serta klasifikasi Kemampuan Pembayaran Polis Efektif (KPPE) pada 2028.
“Transformasi ini harus direncanakan dengan matang melalui analisis modal dan risiko, desain eksekusi, serta komunikasi dengan regulator dan pemegang polis,” ujarnya.
Baca Juga: Mudah & Tanpa Biaya, Begini Cara Ajukan Klaim Asuransi IFG Life
Erwin menutup bahwa dengan perencanaan dan kebijakan yang tepat, transformasi ini diharapkan mampu melahirkan industri asuransi syariah yang lebih kuat, sehat, dan berkelanjutan dalam beberapa tahun mendatang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait: