Dari AI hingga Hybrid Working, IWG Rilis 10 Tren Kerja di Tahun 2026
Kredit Foto: Istimewa
Pada 2026, fokus perusahaan beralih ke SDM dengan memandang karyawan sebagai investasi berharga. Perusahaan akan memberikan jaminan kesejahteraan, pelatihan, serta kesempatan pengembangan keterampilan teknologi masa depan.
Produktivitas dan keterlibatan karyawan kini dinilai dari cara, waktu, dan mitra kolaborasi, bukan semata-mata lokasi kerja. Untuk menarik dan mempertahankan talenta terbaik, perusahaan akan mengadopsi model kerja fleksibel dan hibrida. Perubahan ini didorong oleh kemajuan teknologi yang memungkinkan kolaborasi lebih cerdas dan dinamis, termasuk investasi dalam desain ruang kerja berbasis data dan AI.
Karier kedepan lebih ditentukan oleh keterampilan, termasuk penguasaan AI secara personal, daripada ijazah formal. Perhatian dunia kerja juga bergeser dari debat lokasi kerja ke profitabilitas, produktivitas, dan kesejahteraan karyawan. Dengan ruang kerja fleksibel, karyawan dapat bekerja dari rumah atau lokasi lain yang mendukung produktivitas, menghemat biaya dan waktu perjalanan. Konsep ini mendorong kerja yang lebih lokal, personal, dan cerdas, seperti bekerja dari pinggiran kota, kota kecil, atau menerapkan "15-minute cities".
International Workplace Group, platform kerja terbesar di dunia dengan merek seperti Spaces dan Regus, merilis 10 tren utama yang siap mewarnai lanskap dunia kerja pada 2026:
1. AI sebagai Teman Kerja Kalian
Pada 2026, karyawan yang bekerja secara hibrida akan lebih sering menggunakan teknologi AI-copilot dalam bekerja sehari-hari. Sistem kerja seperti ini secara signifikan mengurangi kebutuhan tugas-tugas sederhana seperti administrasi, pencarian informasi, dan penjadwalan. Karyawan pun menjadi lebih memiliki banyak waktu untuk pekerjaan kreatif, merampungkan masalah yang rumit, dan menjalin hubungan.
Lebih dari itu, transformasi budaya bekerja ini akan membantu orang-orang untuk mengelola keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi mereka dengan lebih baik. Alhasil, kondisi itu juga berpengaruh pada peningkatan produktivitas dan kepuasan kerja.
Pergeseran budaya kerja ini akan dipercepat oleh kolaborasi antar generasi baru. Riset IWG menunjukkan bahwa sekitar 62 persen karyawan Gen Z sudah melatih rekan-rekan sekantornya yang lebih senior yaitu bagaimana cara memakai AI demi menunjang produktivitas dan efisiensi.
Sebaliknya, sekitar 77 persen direktur dan direktur senior mengakui bahwa kolaborasi ini telah meningkatkan produktivitas dan 80 persen dari mereka mengatakan, kolaborasi tersebut juga berpeluang membuka bisnis baru.
Baca Juga: Resmi Lulus Sandbox OJK, Platform Tokenisasi Properti GORO Siap Perluas Akses Investasi
Memanfaatkan tren ini, perusahaan-perusahaan diperkirakan semakin memperkuat penggunaan AI dan menganalisis ruang kerja yang bersifat “personalised hybrid plans” (merancang kerja hibrida lebih personal) untuk setiap pekerja, termasuk penjadwalan, hari ideal untuk rapat, dan lokasi kantor atau coworking yang disepakati dan disukai karyawan.
2. Pilihlah Kantor Terdekat (Return-to-Several-Offices)
Banyak perusahaan dari berbagai skala ukuran mulai meninggalkan sistem kerja hibrida yang tak pasti. Mereka kini cenderung menerapkan model banyak lokasi yang lebih terstruktur.
Karyawan diberdayakan untuk bisa bekerja dari tempat yang nyaman dan dekat dengan rumahnya. Jadi, alih-alih memaksa mereka “kembali ke kantor” (Return to the Office), tapi menerapkan model “pilihlah kantor terdekat” (Return to Several Offices).
Microsoft, contohnya, baru-baru ini mengumumkan bahwa mulai tahun 2026 sebagian besar karyawannya perlu berada di kantor Microsoft terdekat, minimal tiga hari setiap pekan. Sementara itu, banyak perusahaan besar lain justru memberikan pilihan kepada karyawannya untuk bekerja di coworking place atau ruang kerja yang fleksibel.
3. Sertifikasi Keahlian Mikro sebagai “Mata Uang Baru” (Micro-Certifications as Currency)
Untuk naik jenjang karier, budaya lama perusahaan cenderung mengandalkan gelar atau ijazah formal karyawannya, tapi kini dunia sudah bergeser. Pekerja didorong pada keahlian yang dimiliki. Pekerja yang memiliki sertifikasi keahlian tertentu cenderung lebih dibutuhkan.
Jadi, para karyawan hibrida ke depan akan mengumpulkan “sertifikasi mikro” (micro-certification) untuk bidang tertentu (ini semacam kursus singkat keterampilan tertentu) ketimbang mengejar gelar atau ijazah formal.
Perusahaan akan mendukung tren ini dengan platform pembelajaran on-demand (sesuai permintaan), yang diharapkan bisa melahirkan banyak talenta yang lebih gesit. Tren ini menjadikan mobilitas internal (mutasi karyawan dari unit satu ke unit lain) berbasis keterampilan lebih mudah dilakukan.
4. Mengembalikan Jiwa Pekerja (Reversing The Quiet Crack)
Tidak seperti halnya “quiet quitting” (karyawan yang bekerja ala kadarnya, seminimal mungkin, sesuai porsi tugasnya saja), fenomena “quiet cracking” juga menjadi masalah di dunia kerja saat ini.
Istilah “quiet cracking” merujuk pada keadaan para karyawan terlihat bekerja baik, tapi secara mental dan emosional sebetulnya mereka terganggu, tak lagi menyatu atau melibatkan diri dalam pekerjaannya. Akibatnya, mereka kelelahan (burnout), karier stagnan, dan kehilangan tujuan kerja.
Sekitar 57 persen pekerja mengatakan bahwa saat mereka tidak lagi dihargai atau terlalu diawasi oleh atasan, mereka cenderung tidak nyaman lagi saat bekerja. Oleh karenanya, perusahaan kini mulai menekankan kesejahteraan karyawan dan pilihan kerja fleksibel demi menjaga keterlibatan diri karyawan.
Seiring isu kesejahteraan baik fisik maupun mental karyawan sebagai fokus utama, perusahaan juga diperkirakan memanfaatkan alat “well tech”, seperti perangkat pelacak stres yang bisa dipakai karyawan, pengingat kesehatan mental berbasis AI, dan menciptakan tantangan “wellness” dengan pendekatan game (gamifikasi) bagi karyawan demi menerapkan kebiasaan sehat sehari-hari.
5. Model Eksekutif C-Suite Berbasis Paruh Waktu (Fractional C-Suite and Executive Talent)
Model ini memang tampak aneh. Tapi, di saat kondisi ekonomi sedang rumit dan mengalami ketidakpastian, lebih banyak perusahaan kemudian beralih ke konsep “fractional executives”. Konsep ini memilih talenta untuk mengisi jajaran eksekutif (C-suite) berbasis paruh waktu atau kontrak, yang memiliki keahlian spesifik dan tak perlu lagi ada biaya pengangkatan penuh waktu.
Sebanyak 9 dari 10 (sekitar 87 persen) CEO dan CFO mengaku khawatir dengan dampak ketidakstabilan makro-ekonomi yang terus berlanjut. Sementara itu, dua pertiga mereka (67 persen) mengaku sudah mengurangi biaya operasional, karena perusahaan ingin mencari model kepemimpinan yang lebih cerdas.
Model fleksibilitas bagi jajaran eksekutif tersebut memungkinkan perusahaan mendapatkan masukan strategis yang berbobot saat dibutuhkan nanti, sekaligus memberikan kesempatan para eksekutif itu bekerja profesional di sejumlah organisasi.
6. Membangun Konsep “15-Minute Cities” dari Nol
Konsep “kota 15 menit”, di mana akses dari dan ke tempat kerja hingga hiburan hanya butuh jalan kaki atau bersepeda singkat, bakal memasuki fase baru pada 2026. Selama ini, konsep ini sebatas menyesuaikan lingkungan agar kantor, hunian, dan rekreasi menjadi lebih dekat satu sama lain.
Ke depan, konsep “kota 15 menit” justru membuat budaya baru, dibangun dari nol dengan desain yang mendorong konektivitas, keberlanjutan, dan kehidupan komunitas.
Salah satu contoh yang menonjol, yaitu The Ellinikon di Athena, salah satu proyek regenerasi perkotaan terbesar di Eropa, dibangun di lokasi bekas bandara dengan pendanaan lebih dari US$8 miliar. Demikian pula, di AS, The Point di Utah mengubah lokasi bekas penjara negara bagian menjadi komunitas model yang dirancang berdasarkan prinsip “kota 15 menit”.
Kerja hibrida membuat ekosistem perkotaan dengan prinsip itu menjadi layak untuk dipertimbangkan atau dinilai lebih realistis. Mengapa? Karena para profesional memilih untuk tinggal dan bekerja di area lokal yang sama, sedangkan perusahaan bisa membuka kantor baru di beberapa daerah untuk lebih dekat karyawan, ini bisa menghemat hingga US$30.332 per tahun lantaran biaya perjalanan karyawan bisa dipangkas.
7. Efek Loyalitas Lokal
Bekerja secara hibrida akan menumbuhkan koneksi baru para karyawan dengan lingkungan tempat tinggal mereka. Perusahaan pun bisa mendorong mereka untuk berkontribusi pada kegiatan sosial, kemitraan lokal, atau berbagi keahlian mereka dengan warga sekitar, ini sekaligus bisa berpengaruh memperkuat citra perusahaan sekaligus membangun keterlibatan sosial di tempat pekerja bekerja dan tinggal sehari-hari.
8. Kantor Serasa Hotel (The Hospitality-Infused Office)
Kantor masa depan bakal terasa seperti sebuah hotel butik. Bersiaplah dengan layanan ala bantuan personel hotel (concierge), menu makanan dan minuman yang dipilih khusus, dan desain ruangan yang memanjakan panca indera persis seperti di hotel.
Kemitraan IWG dengan YOO adalah contohnya. Mereka menggabungkan desain hotel kelas atas dengan jaringan workspace fleksibel, menciptakan ruang yang tidak hanya untuk bekerja, tapi juga bersosialisasi dan menjaga kesejahteraan bersama-sama. Dengan begitu, kantor berubah menjadi pengalaman lifestyle yang mengesankan bagi para karyawan.
9. Permintaan Kantor Harian Kian Diminati (Rising Day Office Demand)
Konsep kantor harian bakal menjadi bagian penting dalam lanskap dunia kerja ke depan, di mana menyediakan ruang kerja profesional dan produktif kapan pun dan di mana pun dibutuhkan. Baik ruang kerja yang butuh ketenangan atau rapat tim, alternatif kantor “on demand” (sewa saat butuh) ini tidak membutuhkan kontrak jangka panjang, tapi masih menawarkan semua fasilitas seperti kantor pada umumnya.
Dengan tetap mengutamakan kenyamanan karyawan, tersedianya layanan seperti pencahayaan alami dan fasilitas wellness di lokasi kerja adalah keunggulan ruang kantor harian ini. Ini diharapkan membantu pekerja bekerja efesien, fleksibel, dan mengarah ke tujuan yang lebih jelas.
10. Demografi Tenaga Kerja Baru: Mengapa Pemimpin Bisnis Perlu Tahu Keinginan Generasi Z di Tempat Kerja
Gen Z memasuki dunia kerja dengan harapan yang jelas, tak terbatas pada gaji, tapi mereka memprioritaskan pada kesejahteraan, kesehatan mental, jam kerja fleksibel, dan pekerjaan penuh makna yang sejalan dengan nilai-nilai inti mereka.
Dengan populasi global yang kian menua, jumlah pensiun yang bertambah, dan kesenjangan talenta pekerja yang makin lebar, maka penting bagi para pemimpin bisnis untuk memahami dan merespons prioritas yang berubah tersebut agar tetap kompetitif dengan perusahaan lain.
Baca Juga: Bonus Demografi Terancam, Struktur Tenaga Kerja Indonesia Tak Siap Hadapi Transformasi Industri
Perusahaan-perusahaan yang menerapkan fleksibilitas, otonomi, dan pekerjaan yang bermakna akan memikat dan mempertahankan generasi pemimpin berikutnya adapun sebaliknya, mereka bersiap dengan risiko: menjadi perusahaan tertinggal.
Mark Dixon, Pendiri and CEO IWG, mengatakan:
"Peningkatan berkelanjutan dalam teknologi, termasuk AI dan pendekatan baru terhadap pelatihan dan pengembangan (litbang) akan menjadi pendorong signifikan produktivitas, keterlibatan, dan loyalitas karyawan. Hal ini memungkinkan perusahaan menciptakan tenaga kerja dan lingkungan kerja yang siap untuk masa depan yang mendorong pertumbuhan bisnis.
Kita akan terus melihat pergeseran fundamental dalam geografi kerja yang bergerak menuju komunitas lokal. Kemajuan luar biasa dalam teknologi cloud dan perangkat lunak konferensi video keduanya vital untuk memungkinkan kerja hibrida yang efektif berarti pekerja tidak lagi perlu melakukan perjalanan jarak jauh setiap hari.
Inovasi dalam teknologi akan terus berkembang di tahun-tahun mendatang dan akan secara radikal menggarisbawahi dan memicu fleksibilitas lokasi.
Permintaan yang semakin besar untuk kerja lebih dekat rumah juga berimbas pada mayoritas pusat IWG baru kami dibuka di pusat komunitas lokal, pinggiran kota, dan daerah pedesaan, sehingga memungkinkan banyak orang di seluruh dunia untuk mengucapkan ‘selamat tinggal’ perjalanan harian yang panjang (long daily commutes)."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat