Kredit Foto: PLN IP
Di balik gemuruh ambisi Indonesia menuju swasembada energi bersih, tersimpan dilema infrastruktur yang fundamental. Kekayaan potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang tersebar dari hulu sungai Sumatera, terik matahari Nusa Tenggara, hingga cadangan hidro besar di Kalimantan, seolah terkunci, gagal mencapai pusat-pusat konsumsi utama seperti di Pulau Jawa.
Inilah paradoks terbesar dalam narasi energi Indonesia. Potensi EBT bangsa ini luar biasa besar, namun jaringan transmisi yang seharusnya menjadi "urat nadi" dan penghubung utama sistem kelistrikan, justru tertinggal jauh di belakang ambisi pembangunan pembangkit.
Tanpa transmisi yang memadai, EBT hanya akan menjadi energi di atas peta, bukan kekuatan riil yang mendukung visi Net Zero Emission (NZE) 2060.
RUPTL 2025–2034: Sebuah Lompatan Historis
Urgensi pembangunan infrastruktur jaringan ini semakin mendesak seiring diluncurkannya Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034. Dokumen strategis ini menetapkan penambahan kapasitas pembangkit listrik total 69,5 Gigawatt (GW), dengan porsi EBT mencapai angka historis sebesar 76 persen atau setara 52,9 GW.
Periode penambahan energi listrik satu dekade ke depan ini secara resmi dicanangkan sebagai era akselerasi energi hijau terbesar dalam sejarah Indonesia.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan transmisi adalah kunci kritis dari keberhasilan ambisi ini.
“Tantangannya, potensi EBT ini lokasinya berada jauh dari pusat kebutuhan listrik. Sehingga, kita perlu membangun jaringan transmisi dan gardu induk agar bisa memaksimalkan potensi EBT untuk pembangkit listrik,” ungkap Bahlil pada pembukaan IICGE 2025, di JCC, Jakarta, Rabu (17/9/2025).
Komposisi EBT dalam RUPTL ini menunjukkan pergeseran paradigma energi nasional, dengan porsi terbesar berasal dari sumber intermiten dan non-baseload:
- Surya: 17,1 GW
- Air (Hidro): 11,7 GW
- Angin: 7,2 GW
- Storage (Pompa & Baterai): 10,0 GW (untuk fleksibilitas jaringan)
- Lainnya (Bioenergi & Nuklir): 1,4 GW
Mismatch dan Konsep Green Enabling Super Grid
Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyuarakan tantangan ini dengan tegas, seraya mencetuskan frasa yang kini menjadi key message di sektor energi.
Baca Juga: PLN Siap Dukung Proyek PLTSa di Seluruh Indonesia untuk Perkuat Ekosistem Waste-to-Energy
“No transition without transmission,” ucapnya dalam Sosialisasi RUPTL 2025–2034, di Jakarta, Senin (2/6/2025).
Direktur Manajemen Proyek dan EBT PLN, Suroso Isnandar, menjelaskan akar masalahnya adalah ketimpangan geografis yang akut.
“Pusat permintaan terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera, sementara potensi hidro banyak tersebar di Sumatera dan Kalimantan. Ketimpangan epicenter of demand ini akan menjadi tantangan yang cukup berat dalam transisi energi,” ujar Suroso dalam peluncuran Electricity Connect 2025, Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Untuk menjembatani jurang geografis ini, PLN mencanangkan pembangunan Green Enabling Super Grid, sebuah jaringan transmisi tulang punggung yang menghubungkan pulau-pulau utama.
Rencana pembangunan ambisius mencakup:
- Panjang Transmisi: 47.758 kilometer sirkuit (kms).
- Kapasitas Gardu Induk: 107.950 MVA.
Rute interkoneksi utama yang dicanangkan untuk mengevakuasi EBT besar-besaran meliputi:
- Sumatera-Jawa (Target 2031)
- Kalimantan-Jawa (Target 2034)
- Sumba-Bali-Jawa (Target 2040)
Jerat Keekonomian: ROI 2 Persen Melawan Bunga 7 Persen
Besarnya ambisi ini berbanding lurus dengan besarnya kebutuhan modal. Kebutuhan pendanaan untuk transmisi saja diproyeksikan mencapai US$ 25 miliar atau lebih dari Rp400 triliun.
Inilah titik kritis yang memerlukan intervensi kebijakan yang kuat.
Baca Juga: Genjot Pertumbuhan Ekonomi, PLN Komitmen Perkuat Ketahanan Energi
Darmawan Prasodjo secara gamblang memaparkan dilema keekonomian yang membuat proyek transmisi kurang menarik bagi investor.
"Investasi pembangkit biasanya menghasilkan ROI di atas 10 persen, [tapi] ROI transmisi hanya sekitar 2–3 persen. Padahal kalau cari pinjaman sekarang, bunga 7 persen saja sudah bagus. Kalau hasilnya cuma 2–3 persen, ya Bapak-Ibu wassalamu’alaikum. Nanti cicilan lebih besar dari pendapatan,” kata Darmawan.
Fakta bahwa proyek transmisi adalah infrastruktur publik dengan rate of return yang minim, namun berperan vital dalam pencapaian target NZE dan komitmen Perjanjian Paris, menempatkannya di persimpangan antara kebutuhan negara dan logika pasar.
Smart Grid dan Tantangan Fluktuasi EBT
Di luar persoalan finansial, pembangunan transmisi harus dibarengi dengan peningkatan jaringan pintar (Smart Grid). Suroso Isnandar menekankan pentingnya pengembangan Smart Grid untuk mendukung VRE (surya dan angin) yang bersifat intermiten dan fluktuatif.
"Tambahan 76% pembangkit yang intermiten meningkatkan intermitensi dan fleksibilitas jaringan. Kondisi inilah yang memang harus dibangun oleh PLN terkait dengan smart grid," jelas Suroso.
Tanpa jaringan pintar, penambahan VRE dalam jumlah masif dapat mengganggu stabilitas sistem ketenagalistrikan. Oleh karena itu, investasi pada infrastruktur fisik (transmisi) harus sejalan dengan investasi pada infrastruktur digital dan storage (penyimpanan energi).
Mitigasi Risiko: Infrastruktur Lokal dan Kolaborasi Global
Selain tantangan pendanaan, risiko di lapangan juga tinggi. Direktur Eksekutif Indonesia Mining dan Energy Watch, Ferdy Hashiman, menyoroti hambatan infrastruktur daerah yang memperlambat pembangunan.
"Kan bawa transmisi ke dalam itu kan butuh infrastruktur yang bagus, Mas. Itu yang membuat PLN sulit untuk membangun transmisi sampai ke desa-desa," ujar Ferdy kepada Warta Ekonomi, Rabu (4/12/2025).
Ia juga mengkritik efisiensi anggaran pemerintah daerah yang berdampak pada buruknya akses transportasi material proyek.
Untuk mengatasi segala tantangan ini, pemerintah menyerukan kolaborasi total, tidak hanya teknologi tetapi juga pendanaan.
Baca Juga: Ini Alasan Tarif Listrik PLTSa Naik Jadi US$20 Sen per kWh
Hal ini ditegaskan langsung Staf Ahli Kementerian ESDM Bidang Perencanaan Strategis, Jisman P. Hutajulu.
"Ini sangat besar, nah yang ada di ruangan ini semua harus bahu-membahu, baik seluruh stakeholders, itu kita mintakan supaya bahu-membahu tidak hanya teknologi, juga financing dan segala macam yang memberikan yang terbaik untuk Indonesia," tandas Jisman dalam Electricity Connect 2025, Rabu (19/11/2025).
Kolaborasi ini diharapkan dapat menarik modal dari lembaga keuangan multilateral dan investor yang fokus pada ESG (Environmental, Social, and Governance).
Darmawan Prasodjo menegaskan bahwa hal ini jelas merupakan langkah nyata dalam menyelamatkan bumi dari perubahan iklim.
"Tantangan perubahan iklim adalah tantangan global. Dibutuhkan kolaborasi kebijakan, strategi, inovasi teknologi, dan investasi bersama,” jabarnya.
Proyek transmisi PLN adalah pasar bond atau debt strategis yang harus disuntik dengan modal konsesional atau blended finance. Investor ditantang untuk melihat proyek ini bukan sekadar dari kacamata ROI komersial, melainkan dari sudut pandang impact investing sebuah investasi yang mengamankan masa depan energi bersih Indonesia dan mendukung komitmen global NZE.
Baca Juga: BPBL Hadir di Fakfak, 100 Rumah Tangga Prasejahtera Tersambung Listrik
Apa lagi, Presiden RI Prabowo Subianto telah menegaskan dengan gamblang komitmen ini dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat pada 23 September 2025 silam.
“Kami memilih untuk menghadapi perubahan iklim, bukan dengan slogan. Tetapi dengan langkah-langkah segera. Kami berkomitmen untuk memenuhi kewajiban Perjanjian Paris 2015 kami. Kami yakin dapat mencapai Net Zero Emission jauh lebih cepat,” tegas Prabowo.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rahmat Dwi Kurniawan
Editor: Djati Waluyo