Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
    Indeks
      About Us
        Social Media

        Penjualan BBM PPN Diulas, Saksi Jelaskan Aturan Bottom Price

        Penjualan BBM PPN Diulas, Saksi Jelaskan Aturan Bottom Price Kredit Foto: SKK Migas
        Warta Ekonomi, Jakarta -

        Sidang kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina (Persero) dengan terdakwa eks Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga (PPN) periode 2023–2025, Riva Siahaan, mengungkap capaian kinerja keuangan perusahaan pada beberapa periode kepemimpinan.

        Fakta tersebut muncul dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (11/12), saat sejumlah saksi memberikan keterangan terkait keuntungan yang dicatat PPN dalam beberapa tahun terakhir.

        Manajer Industri PPN, Samuel Hamonangan Lubis, menjelaskan bahwa PPN mencatatkan peningkatan keuntungan pada periode 2018 hingga 2023 dan 2024, dengan capaian US$1,2 miliar hingga US$1,4 miliar pada 2022–2023. Ia menyampaikan bahwa keuntungan terbesar terjadi saat PPN dipimpin Riva Siahaan sebagai Direktur Utama, Maya Kusmaya sebagai Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga, serta Edward Corne sebagai Vice President Trading Operations.

        “Pada periode kepemimpinan keduanya, PPN membukukan keuntungan dari penjualan BBM ke industri lebih dari US$1 miliar. Sedangkan per Oktober 2025, keuntungan PPN baru sekitar US$300 juta. Adapun prognosa keuntungan hingga Desember 2025 hanya sekitar US$400 juta,” ujar Samuel.

        Baca Juga: Lima Provinsi Bentuk Forum Penghasil Nikel, Wamen ESDM Soroti Tata Kelola dan Hilirisasi

        Samuel menyebut penurunan kinerja terjadi setelah penyidikan kasus dimulai pada awal 2025. Menurut dia, tim penjualan mengubah strategi dengan menawarkan harga yang lebih tinggi kepada konsumen industri. Perubahan ini, kata dia, membuat sejumlah konsumen beralih ke pemasok lain yang menawarkan harga lebih rendah, sehingga keuntungan PPN turun hingga 60 persen dibanding periode sebelumnya.

        Saksi lainnya, Manajer B2B Marketing Strategy PPN, Ardyan Adhitia, turut menyampaikan bahwa penetapan bottom price tidak relevan untuk kontrak jangka panjang. Ia menegaskan bahwa bottom price hanya berlaku untuk penjualan bersifat spot order dengan masa berlaku dua minggu. “Bottom price hanya berlaku untuk penjualan yang bersifat spot order sesuai dengan jangka waktu berlakunya bottom price tersebut, yaitu 2 minggu,” ujarnya.

        Pernyataan Ardyan tersebut sekaligus menanggapi dakwaan jaksa penuntut umum yang menyebut kontrak penjualan BBM solar/biosolar ditandatangani di bawah bottom price. Ia menuturkan bahwa kontrak yang ditandatangani terdakwa merupakan kontrak jangka panjang, sehingga bottom price tidak menjadi acuan dalam transaksi tersebut.

        Baca Juga: Dirjen Migas Bongkar Sebaran Cadangan Minyak RI, Ternyata Masih Didominasi Wilayah Ini

        Terkait penggunaan bottom price, Direktur Utama PPN periode 2021–2023, Alfian Nasution, dalam persidangan sebelumnya menyatakan bahwa penjualan yang dilakukan Pertamina tidak menimbulkan kerugian. Menurut Alfian, bottom price sudah mencakup margin, sehingga penjualan BBM non-subsidi diperbolehkan dilakukan di bawah batas tersebut selama tidak menyebabkan kerugian bagi perusahaan.

        “Penjualan BBM maupun solar non-subsidi boleh saja dijual di bawah harga bottom price selama Pertamina tidak mengalami kerugian,” kata Alfian.

        Dalam persidangan ini, enam saksi dihadirkan untuk terdakwa Riva dan Maya, yakni Samuel Hamonangan Lubis, Willy Bahari, Ardyan Adhitia, Erik Henriko Suparno, Vincentius Bima Anong Dian Hutama, dan Erriza Angelinna Aguita.

        Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

        Editor: Annisa Nurfitri

        Bagikan Artikel: