Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Daud Silalahi: Putusan SP3 Kasus Kebakaran Hutan Harus Dihormati

Oleh: ,

Warta Ekonomi, Jakarta -

Pakar Hukum Lingkungan Univeristas Pajajaran (Unpad) Daud Silalahi mengatakan putusan Surat Perintah Penghentian Perkara (SP3) kasus kebakaran hutan di Riau perlu dihormati oleh semua pihak. Ia menegaskan semua pihak perlu menahan diri dan tidak memolitisir putusan SP3 tersebut agar tidak menimbulkan kebingungan dan keresahan di masyarakat.

"Saat ini, terlalu banyak campur tangan politik serta komentar pihak-pihak tidak berwenang atau berkomentar di luar kewenangannya. Masalahnya bertambah dengan penghukuman (trial by press) melalui media massa dan media sosial yang belum tentu benar sehingga publik semakin dibingungkan," katanya dalam keterangan kepada wartawan di Jakarta, Senin (8/8/2016).

Daud berpendapat putusan menerbitkan SP3 merupakan ranah kepolisian yang memiliki kewenangan penuh untuk melakukan penyidikan kasus ini dan menghentikannya. Ia mengatakan bahwa bisa saja hasilnya penyidikan tidak sempurna, tetapi nantinya bisa dibuktikan di pengadilan.

"Kalaupun ada kekeliruan atau kesalahan penyidikan, ada komisi judicial, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung yang mempunyai kompetensi untuk menilai. Karena itu, pihak lain tidak perlu memolitisir karena hanya memperkeruh masalah," ujarnya.

Pakar hukum lingkungan yang mengenyam pendidikan di University of California at Berkeley (UC Berkeley) pada tahun 1972 ini memastikan jika terlalu banyaknya komentar bakal menimbulkan kebingungan masyarakat dan citra buruk dunia usaha. Komentar itu juga menimbulkan kesan bahwa pemerintah tidak berwibawa.

"Kalau perusahan bersalah, sudah ada sanksi administratif yang mengatur. Karena itu, tidak perlu semua pihak berkomentar, apalagi berkomentar di luar kompetensinya," sebutnya.

Ia juga menyayangkan cara-cara berkomunikasi Kementerian LHK dan DPR dalam kasus SP3 tersebut. Ia menyatakan cara komunikasi kedua lembaga tersebut terlalu politis dan populis agar masyarakat punya perhatian dan ikut terlibat melakukan penekanan (community pressure).

"Ini sangat berbahaya. Sikap seperti ini merugikan perusahaan. Mereka merasa diadu. Padahal perusahaan ada untuk membantu masyarakat," tegasnya.

Daud juga mengingatkan komentar DPR sebaiknya dalam kapasitasnya untuk menjalan fungsi pengawasan dan tidak perlu masuk ranah hukum. Indonesia, kata Daud, masih menganut trias politica. Konsep ini mengatur pemerintahan yang berdaulat.

"Pemisahan kekuasaan merupakan suatu cara pembagian dalam tubuh pemerintahan agar tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Cara-cara komunikasi politis seperti ini, tidak hanya terjadi pada kasus SP3 pada 15 perusahaan, namun juga terlihat pada berbagai kasus seperti Reklamasi Pantai Jakarta," terangnya.

Sementara itu, pakar gambut IPB Basuki Sumawinata mengatakan kahutla merupakan persoalan kompleks yang pembuktiannya tidak mudah. Apalagi, lokasinya berada di lahan sengketa. Basuki juga menyayangkan rencana pemerintah untuk mengambilalih konsesi perusahan yang terbakar dengan alasan perusahaan tidak mampu menjaganya.

"Sangat naïf jika pihak-pihak tertentu langsung menunjuk korporasi sebagai sebagai pelaku pembakaran karena jelas-jelas lokasinya merupakan lahan sengketa perusahaan dan masyarakat. Ini agak dilema. Untuk apa korporasi membakar konsesinya kalaupun masih bersengketa?" pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Advertisement

Bagikan Artikel: