Rancangan Undang-undang Pertembakauan telah selesai di tingkat badan legislasi (Baleg) namun masih harus menunggu di sidang paripurna untuk ditetapkan menjadi inisiatif DPR. Dalam RUU Pertembakauan ada kenaikan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), dari sebelumnya hanya 2% (ketentuan saat ini sesuai dengan UU 37/2007) menjadi 20% dari total penerimaan negara yang berasal dari cukai. Serta membatasi impor tembakau menjadi hanya 20% dari sebelumnya 50%.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas (Gerindra): memberikan tanggapan, “Dana cukai tembakau tahun ini sebesar Rp 138 triliun, dan tahun depan diprediksi menjadi Rp 145 triliun. 20% DBHCHT akan dialokasikan untuk kesejahteraan petani tembakau, namun ini belum final, Kita akan bahas dengan pemerintahn, beacukai dan saya perkirakan ini akan alot,” ujar Supratman saat diskusi Pertembakauawan di Jakarta, (15/09) yang dihadiri juga oleh Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, dari Fraksi PKB, dan Budiyono, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI).
Semantara itu Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz menjelaskan bahwa DBHCHT akan dialokasikan dalam 3 sektor, yakni untuk inprastruktur petani tembakau, kesehatan yang berkaitan penyakit akibat rorok dan aspek lingkungan . “RUU Pertembakauan sudah sedemikian bagus dan komprehensif, namun tidak sertamerta memberikan solusi yang tepat untuk semua kepentingan. Dalam UU yang lama dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) belum menguntungkan petani kita. Bagi hasilnya hanya 2% dari nilai ini daerah penghasil tembakau kebaian hanya 40% dan 30% untuk daerah lain yang berkaitan dengan industry rokok, prosedurnya juga rumit, dan terduga malah jadi dana bancakan, karena banyak petani yang tidak tahu ada dana ini.”
“Di dalam RUU Pertembakauan yang sekarang 75% persen dari dana bagi hasil akan dikembalikan pada petani. Jadi alokasi untuk Kesehatan pada dasarnya itu kecil hanya untuk menutupi kerugian asuransi kesehatan sekitar Rp4 triliun, ini kan supaya premi BPJS tidak dinaikan,” tambah Supratman.
Sementara itu Budiyono berharap agar dana bagi hasil ini tepat guna, bukan sebagai dana bancakan bahkan bukan pula sebagai dana politik. Persoalan lain yang perlu diperhatikan adalah selama ini petani tembakau tidak mendapat insentif dan nilai tambah dari tata niaga tembakau, “ kami mengusulkan dibentuknya kemitraan yang dapat memotong rantai tata niaga tembakau, industri ini harus satu kesatuan dari hulu ke hilir. Selain itu perlu diberikan asuransi gagal panaen, dengan demikian akan merangsang petani tambaku untuk meningkatkan produskisnya termasuk kuallitasnya. Sehingga harapan alokasi 80% produksi tambakau lokal dapat terpenuhi. “
Bidiyono mengingatkan, bahwa produktivitas tembakau kita paling rendah di ASEAN, sama Vietnam saja kita kalah. Produktivitas kita kurang dari 1 ton / hektar, semasntara Tiongkok sudah 3 ton/ hektar. “Anehnya, walau faktanya kita kekurang 50% dari kebutuhan tembakau sehingga kita harus impor, namun kenyataanya kok harga tembau kita rendah?.”
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi
Tag Terkait:
Advertisement