Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyosialisasikan perubahan iklim dan tindak lanjut setelah Konferensi Perubahan Iklim atau Conference of Parties (COP) 21 Paris di 20 provinsi di Indonesia.
Sosialisasi itu dilakukan setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Rancangan Undang-undang tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim menjadi undang-undang, kata Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Energi Arief Yuwono dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (25/10/2016).
Ia mengatakan bahwa berdasarkan Laporan Kajian ke-5 (Assessment Reports 5 atau AR5) Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), suhu bumi telah meningkat sekitar 0,8 C dalam beberapa dekade terakhir.
Pada akhir 2100, suhu global diperkirakan akan lebih tinggi 1,8 hingga 4C dibandingkan rata-rata suhu pada 1980-1999. Jika dibandingkan periode praindustri (1750), kenaikan suhu global ini setara dengan 2.5-4.7 C.
Proses pemanasan global terutama disebabkan oleh masuknya energi panas ke lautan (kurang lebih 90 persen dari total pemanasan), dan terdapat bukti bahwa laut terus menghangat selama periode ini.
"Sehingga poin-poin penting Perjanjian Paris adalah membatasi kenaikan suhu global di bawah 2C, menyampaikan kontribusi penurunan emisi yang dituangkan dalam NDC, mendorong pendekatan kebijakan dan insentif positif dari sektor kehutanan (misal dari REDD+) melalui 'result-based payments', mekanisme market dan nonmarket, meningkatkan kapasitas adaptasi, memperkuat ketahanan serta mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim," lanjut Arief.
Pemerintah Provinsi Bengkulu menyambut baik langkah tindak lanjut pasca kesepakatan Paris ini. Dalam sambutan pembukaannya, Wakil Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah mengatakan bahwa kontribusi Bengkulu terhadap emisi gas rumah kaca tergolong rendah sekali, berdasarkan pemantauan emisi udara, Bengkulu masuk lima besar kota terbersih di Indonesia.
"Bengkulu diapit oleh dua samudra dan berada di garis pantai yang sangat panjang, mayoritas penduduknya adalah petani dan nelayan yang sangat bergantung pada perilaku iklim. Untuk itu, kita perlu melakukan upaya bagaimana menyiapkan bumi ini senyaman mungkin untuk jangka panjang dan mengadopsi prinsip pembangunan berkelanjutan," ujar dia.
Contoh sederhana adalah bagaimana menciptakan rumah tetap terang tanpa lampu dan tetap dingin tanpa AC, kata Rohidin.
Sebagai negara kepulauan dengan pantai rendah dan terpanjang nomor dua di dunia, Indonesia rentan terhadap perubahan iklim. Sebagai negara tropis dengan luas hutan serta rawa-gambut yang signifikan, Indonesia memiliki potensi tinggi baik sebagai sumber emisi (source) maupun sebagai sink.
Oleh karena itu, sebagai negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) dan Protokol Kyoto, Indonesia sangat berkepentingan dengan Perjanjian Paris.
Masuknya Indonesia sebagai negara ke-85 yang meratifikasi persetujuan ini sangat menguntungkan, karena Indonesia yang secara geografis berada pada wilayah yang sangat rentan akan dampak perubahan iklim, dimana diperkirakan negara ini akan mengalami kenaikan suhu rata-rata sebesar 0,5 hingga 3,92C pada kurun tahun 2100 yang akan datang.
Ini juga berarti, bahwa Indonesia bersama dengan ke-84 negara lainnya terikat secara hukum untuk sama-sama melakukan upaya penjagaan suhu bumi yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing (common but differentiated responsibilities and respective capabilities), serta memberikan tanggung jawab kepada negara-negara maju untuk menyediakan dana, peningkatan kapasaitas, dan alih teknologi ke pada negara berkembang.
Sesuai keputusan COP21, Perjanjian Paris secara efektif akan berlaku 30 hari setelah diratifikasi oleh paling sedikit 55 Negara Pihak Konvensi yang jumlah total emisinya sekurang-kurangnya 55 persen dari jumlah total emisi gas rumah kaca global. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait:
Advertisement