Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti berpendapat, idealnya bank perkreditan rakyat (BPR) disertakan untuk menyalurkan kredit usaha rakyat terutama di daerah-daerah terpencil yang tidak terjangkau bank umum.
"Tentu tidak semua dari 1.799 BPR, melainkan yang bagus-bagus (berkategori sehat) saja," kata Destry selaku narasumber bertopik peranan BPR dalam perekonomian nasional pada Sosialisasi dan Evaluasi Progres Likuidasi Bank, di Batam, Kepulauan Riau, Rabu (23/11/2016).
Pendapat tersebut dilontarkannya menanggapi seorang peserta dari Sumatera Barat bahwa dengan 9 persen bunga yang diterapkan bank pelaksana kredit usaha rakyat (KUR), BPR dengan bunga pinjaman 14-17 persen kewalahan bersaing, sehingga tidak bisa berkembang di daerah.
Sementara ini, penyaluran KUR hanya oleh bank-bank umum pelaksana.
Menurut Destry, pemerintah tahun ini menargetkan Rp10 triliun, dan menyubsidi 10 persen bunga sehingga nasabah dikenai 9 persen saja.
"Program KUR sangat bagus untuk memberdayakan (perekonomian) masyarakat bawah," tutur Komisioner LPS itu.
Oleh karena itu, bank umum ada baiknya bekerja sama dengan BPR-BPR dengan format KUR guna mengalokasikan dana dari target penyaluran kredit mikro ke nasabah melalui BPR, ucapnya.
Dewasa ini terdapat 1.799 BPR dan BPR syariah se-Indonesia. Dari jumlah itu 686 BPR/S atau 38,13 persen di antaranya di luar Pulau Jawa dan Bali.
Likuidasi LPS yang didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004, hingga 30 September 2016 telah melikuidasi 1 bank umum, 59 BPR dan 3 BPR syariah, sementara 10 BPR dan 3 BPR syariah lain masih dalam proses likuidasi.
Menurut Destry dari tujuh penyebab utama BPR/S gagal, tiga terbesar adalah penyalahgunaan kredit (31 persen), kredit macet (26 persen), dan penyalahgunaan simpanan (19 persen).
Permasalahan tersebut muncul akibat lemahnya pelaksanaan tata kelola perusahaan dalam kegiatan bisnis bank.
"Hampir seluruh BPR/S yang bermasalah penyebabkan utamanya adalah 'fraud' yang dilakukan oleh pemilik, pengurus, pegawai dan/atau pihak lain," ungkapnya.
Penyebab lain, di antaranya tidak berhati-hati (prudent) dalam menyalurkan kredit, ketidakmampuan manajemen mengelola bank, pemegang saham kesulitan menambah modal, kurang kreatif dalam menyasar segmen, minim tenaga profesional, kurang kreatif dalam menggaet nasabah.
Untuk mengembangkan BPR/S yang pembentukan awalnya diniatkan sebagai pendukung usaha kecil dan menengah, Destry merekomendasikan dilakukan pemetaan dan reklasifikasi model bisnis BPR, pembenahan permasalahan bisnis BPR terkait tingginya kredit bermasalah.
Selain itu, penguatan manajemen untuk meningkatkan daya saing dengan kapabilitas unik BPR, standarisasi pelayanan, keahlian sumber daya terampil, serta diadakan standar integritas. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement