Pengamat ekonomi energi UGM Tri Widodo menilai Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 telah mengabaikan peran DPR sebagai wakil rakyat. "PP ini bermasalah karena mengabaikan peran DPR sebagai wakil rakyat," kata Tri Widodo di Jakarta, Selasa (17/1/2017).
Menurut dia, PP 72/2016 tentang Perubahan atas PP Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN dan Perseroan Terbatas itu memungkinkan pengalihan aset negara menjadi lebih mudah tanpa pengawasan DPR.
Dalam Pasal 2A PP yang baru berlaku 30 Desember 2016 tersebut, tertulis penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN atau perseroan terbatas kepada BUMN atau perseroan terbatas lain dilakukan pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme APBN.
Ia menilai pemerintah terlalu terburu-buru menerbitkan PP tersebut, karena nantinya bakal bermasalah. Tri juga mengatakan, pemerintah tidak bisa memakai PP 72/2016 sebagai dasar pembentukan perusahaan induk (holding) BUMN.
Ia mencontohkan, dalam hal pembentukan "holding" migas, pengalihan saham PT PGN Tbk ke PT Pertamina (Persero) harus melalui persetujuan DPR. "Migas merupakan komoditas strategis yang menguasai hajat hidup rakyat, maka sesuai Pasal 33 UUD, pengalihan saham PGN ke Pertamina harus melalui DPR sebagai wakil rakyat," katanya.
Apalagi, menurut dia, dengan menjadi anak perusahaan Pertamina, PGN akan kehilangan fungsi BUMN, sehingga DPR mesti terlibat.
Tri juga menyoroti Pasal 2A ayat (7) PP 72/2016 yang menyebutkan anak perusahaan tetap mendapatkan perlakuan atau keistimewaan sebagai BUMN seperti mendapatkan penugasan pemerintah atau melaksanakan pelayanan umum. "Aturan itu bertentangan dengan UU BUMN yang mengamanatkan hanya badan usaha berbentuk BUMN yang berhak mendapatkan penugasan. Anak perusahaan tidak berhak," ujarnya.
Bertentangan
Sebelumnya, pengamat kebijakan publik Agus Pambagio juga menilai PP 72/2016 bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Kekayaan Negara. "PP ini bertentangan dengan UU, sehingga mesti di-judicial review' ke Mahkamah Agung dalam 90 hari sejak pemberlakuannya," katanya.
Menurut dia, Pasal 2A PP 72/2016 menyebutkan perpindahan kepemilikan saham yang dimiliki negara di BUMN ke perusahaan lain ataupun pengalihan saham melalui penyertaan modal negara (PMN), tidak perlu melalui mekanisme APBN. Artinya, pengalihan saham melalui PMN itu bisa dilakukan pemerintah tanpa lewat DPR.
Sementara, tambah Agus, UU Kekayaan Negara mengamanatkan pengambilalihan ataupun perubahan status kepemilikannya harus persetujuan DPR. Dengan demikian, lanjutnya, PP 72/2016 tersebut bertentangan dengan UU dan secara substansi menjadi berbahaya, karena membuka peluang pengalihan kekayaan negara dan mengubah BUMN menjadi swasta tanpa lewat DPR. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement