Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengantongi bukti-bukti kuat keterlibatan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dalam kasus dugaan suap pengadaan mesin pesawat dari Air Bus SAS dan Rolls Royce Plc pada PT Garuda Indonesia Tbk.
"Banyak bukti yang relevan untuk penyidikan di KPK salah satunya sistem komunikasi yang dilakukan, beberapa catatan perbankan dan lain-lain," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK Jakarta, Jumat (20/1/2017).
Bukti-bukti itu menurut Laode berasal dari Serious Fraud Office (SFO) Inggris dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura. "Tapi kami tidak bisa perlihatkan karena biasanya SFO dan CPIB untuk memberikan bukti-bukti hanya untuk kebutuhan penyidikan dan kebutuhan di pengadilan, tidak bisa di-disclose ke media," tambah Laode.
Dalam bukti-bukti itu juga menunjukkan bagaimana Emirsyah Satar dan perantara suap Rolls Royce Soetikno Soedarjo berhubungan terkait pengadaan pesawat itu. "Selalu kalau begitu kan ada kesepakatan dua pihak, tidak mungkin satu pihak. Masa orang menari sendiri? Menari itu selalu dua orang, sekurang-kurangnya dua orang," kata Laode.
Menurut Laode, suap diterima ketika Garuda melakukan pengadaan pesawat besar-besaran, termasuk saat pembelian 11 pesawat Airbus 330-300 pada April 2012 senilai 2,54 miliar dolar AS yang penandatangannya disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Inggris David Cameron di Istana Merdeka. "Ini kasus dalam rentang waktu tertentu, tidak hanya baru ketika beliau sedang menjadi direktur dan saat ada pengadan besar-besaran Airbus," jelas Laode.
Terkait apakah pihak dari Rolls Royce selaku pemberi suap akan diperiksa, Laode mengatakan bahwa KPK tidak punya kewenangan pemeriksaan tersebut.
"Yang melakukan pemeriksaan adalah SFO, karena mereka ada di Inggris. Kita tidak punya kewenangan untuk memeriksa pihak Rolls Royce di sana karena itu kami serahkan kepada SFO, tetapi informasi yang didapat SFO dibuat 'available' untuk KPK sehingga kita bisa pakai karena itu hasil pemeriksaan formal dan resmi," jelas Laode.
KPK pun sudah bertemu dengan CPIB dan SFO di Singapura beberapa waktu lalu. "KPK pernah bertemu SFO dan CPIB di Singapura minggu lalu, ada meeting penyidik KPK, penyidik SFO dan penyidik CPIB terjadi di Singapura, itu pertemuan terakhir. Kalau masih dibutuhkan akan bertemu lagi," jelas Laode.
Emirsyah dalam perkara ini diduga menerima suap 1,2 juta euro dan 180 ribu dolar AS atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai 2 juta dolar AS yang tersebar di Singapura dan Indonesia dari perusahaan manufaktur terkemuka asal Inggris, Rolls Royce dalam pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014 pada PT Garuda Indonesia Tbk.
Pemberian suap itu dilakukan melalui seorang perantara Soetikno Soedarjo selaku "beneficial owner" dari Connaught International Pte. Ltd yang berlokasi di Singapura. Soektino diketahui merupakan presiden komisaris PT Mugi Rekso Abadi (MRA), satu kelompok perusahaan di bidang media dan gaya hidup.
Rolls Royce sendiri oleh pengadilan di Inggris berdasarkan investigasi SFO sudah dikenai denda sebanyak 671 juta pounsterling (sekitar Rp11 triliun) karena melakukan pratik suap di beberapa negara antara lain Malaysia, Thailand, China, Brazil, Kazakhstan, Azerbaizan, Irak, Anggola.
KPK awalnya menerima laporan dari SFO dan CPIB yang sedang menginvestigasi suap Rolls Royce di beberapa negara, SFO dan CPIB pun mengonfirmasi hal itu ke KPK termasuk memberikan sejumlah alat bukti. KPK melalui CPIB dan SFO juga sudah membekukan sejumlah rekening dan menyita aset Emirsyah yang berada diluar negeri.
Emirsyah disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huru f atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan Soetikno Soedarjo diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. (Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement