MA Inggris Putuskan Proses Brexit Butuh Pemungutan Suara Parlemen
Kredit Foto: Theguardian.com
Mahkamah Agung Inggris memutuskan parlemen harus melakukan pemungutan suara sebelum pemerintah memulai proses Inggris keluar dari Uni Eropa yang dikenal dengan Brexit.
Dengan keputusan tersebut maka Perdana Menteri Inggris Theresa May tidak bisa memulai perundingan dengan Uni Eropa hingga parlemen memberi dukungannya, demikian seperti dikutip dari laman BBC di Jakarta, Rabu (25/1/2017).
Kendati demikian, keputusan Mahkamah Agung tersebut tidak akan mengubah hasil referendum 23 Juni lalu yang memutuskan Inggris keluar dari Uni Eropa dengan suara 51,89 persen melawan 48,11 persen. Namun, keputusan tersebut menentukan cara yang ditempuh harus sesuai dengan hukum.
PM May, sebelumnya mengatakan akan memicu pasal 50 mengenai proses pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa pada akhir maret tahun ini. Bagaimanapun diperkirakan parlemen akan memberi dukungan kepada pemerintah sebelum 31 Maret yang merupakan batas waktu yang ditetapkan pemerintah.
Hal itu bermula ketika Gina Miller, 51 tahun, menggugat keputusan akhir dalam proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Miller ingin agar parlemen memberikan suara sebelum pemerintah memutuskan untuk memulai proses Brexit dengan menggunakan hal yang disebut Pasal 50.
Namun, pemerintah mengatakan memiliki hak eksekutif untuk menempuh Brexit, namun penentangnya, termasuk Miller, berbeda pendapat dan mengatakan parlemen yang memiliki keputusan akhir. Kendati Pengadilan Tinggi berpihak padanya, namun pemerintah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang akhirnya juga mengabulkan permohonan penggugat.
Selain Miller, penggugat lainnya adalah Deir Tozetti Dos Santos yang memiliki kewarganegaraan Inggris dan Eropa. Dos Santos, 37 tahun, sebenarnya memilih Inggris keluar dari Uni Eropa saat referendum. Ia menegaskan tidak ingin mengubah referendum, namun berpendapat pemerintah tidak bisa mengabaikan parlemen begitu saja dalam memulai proses Brexit.
Jadi, kini Majelis Rendah dan Majelis Tinggi parlemen akan melakukan pemungutan suara namun masih belum jelas prosedur parlementer yang akan digunakan pemerintah. Secara teori parlemen bisa saja mencegah proses Brexit, namun dalam kenyataannya hal itu amat kecil kemungkinannya.
Partai Konservatif pimpinan PM May memiliki mayoritas 15 kursi di parlemen dan sejauh ini hanya seorang yang menyatakan akan menentang Brexit, yakni mantan menteri keuangan Ken Clarke.
Bagaimapun, keputusan MA tersebut membuat parlemen memiliki semacam posisi tawar-menawar untuk mendapatkan konsesi dalam menentukan Inggris di masa depan yang sudah tidak bergabung dengan Uni Eropa lagi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Gregor Samsa
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement