Rosan melanjutkan pada saat ini, Indonesia sebaiknya mengkonsentrasikan fokus kerja sama dagang dengan negara lain, daripada mempertimbangkan bergabung dalam TPP. Dia mengingatkan bahwa Indonesia saat ini juga memiliki perjanjian dagang dengan sejumlah negara lain.
Di tempat yang sama, pengamat hubungan internasional Universitas Padjadjaran Teuku Rezasyah mengatakan kerja sama TPP berpotensi memperlemah pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri. "Mereka punya kemampuan teknologi, permodalan dan jaringan bisnis untuk menghancurkan UMKM dan BUMN kita. Saya menolak kita ikut TPP karena industri di dalam negeri kita masih rentan, dan berpotensi kalah bersaing," ucap Teuku Rezasyah.
Ia mengatakan keputusan Presiden Donald Trump untuk menarik diri dari TPP sangat beralasan, karena dia melihat potensi TPP yang hanya menguntungkan negara pengekspor ke Amerika Serikat, sehingga berpotensi memperlemah industri dalam negeri Amerika Serikat.
Ancaman Lembaga swadaya masyarakat Indonesia for Global Justice (IGJ) mengingatkan meski Kemitraan Transpasifik (TPP) telah dipastikan bubar dengan hengkangnya Amerika Serikat, tetapi ancaman serupa masih berpotensi dihadapi Indonesia. "Bagi kami, soalnya bukan AS keluar dari TPP, tetapi apa yang sudah TPP wariskan kepada dunia," kata Direktur IGJ Rachmi Hertanti dalam rilis, Sabtu.
Menurut Rachmi, meski Indonesia tidak bergabung dengan TPP, tetapi ancaman TPP berpotensi dihadapi Indonesia dari pelaksanaan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan perundingan perdagangan dengan Uni Eropa (IEU-CEPA).
Dia berpendapat, keluarnya AS dari keanggotaan TPP akan mempengaruhi peta perdagangan global karena akan membuat TPP tidak menarik, meski ada beberapa upaya dari Australia dan Jepang untuk tetap melanjutkannya. "Bila TPP tetap dilanjutkan, tentu ekspektasinya akan berbeda dibandingkan RCEP. Dari jumlah pasar maupun PDB, TPP 12 minus 1 akan kalah dari RCEP," jelas Direktur Eksekutif IGJ.
Namun, Rachmi juga mengingatkan bahwa TPP selama ini telah menciptakan semacam "standar emas" aturan liberalisasi perdagangan dan investasi yang bakal ditiru ileh RCEP dan IEU-CEPA. Padahal, menurut dia, perundingan kemitraan ekonomi komprehensif RI-Uni Eropa (IEU-CEPA) penuh dengan ketimpangan keadilan sehingga perlu dihentikan pembahasannya.
"CEPA penuh dengan ketimpangan keadilan," katanya dan mencontohkan, dalam perundingan dipaparkan mengenai penerapan mekanisme sanksi yang mengikat melalui investor yang bisa menggugat putusan yang dikeluarkan negara.
Namun, lanjutnya, terkait aturan pembangunan berkelanjutan, tidak ada satupun mekanisme sanksi tegas bagi investor yang merusak lingkungan atau melanggar HAM.
Selain itu, ujar dia, dalam bab-bab yang mengatur liberalisasi perdagangan barang, jasa, investasi dan tenaga kerja dibuat mengikat secara hukum.
Sayangnya, di sisi lain aturan syarat pembangunan berkelanjutan untuk memberikan perlindungan bagi rakyat dan lingkungan hanya bersifat sukarela.
Untuk itu, IGJ bersama-sama dengan organisasi masyarakat sipil di Indonesia, ASEAN, dan Eropa mengirimkan surat kepada Pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa untuk menuntut penghentian perundingan IEU CEPA.
"Negosiasi CEPA tidak dapat dilanjutkan sebelum adanya analisis dampak yang komprehensif terhadap keberlanjutan hidup dan hak asasi manusia," imbuh Direktur Eksekutif IGJ. Ia menegaskan, pertimbangan terhadap segi sosial, lingkungan, dan hak asasi manusia wajib diutamakan di atas perdagangan bebas dan pemberian perlindungan bagi korporasi multinasional.
Sebelumnya, proses perundingan putaran kedua IEU-CEPA yang akan berlangsung pada 24-27 Januari 2017 di Denpasar, Bali, dinilai menjadi penentu arah kemitraan strategis bagi kedua belah pihak.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (PPI) Kementerian Perdagangan Iman Pambagyo menyatakan perundingan tersebut memiliki peran strategis karena hasil perundingan itu nantinya akan menjadi landasan penentuan mekanisme dan arah perundingan selanjutnya. Untuk itu, sebelum melangkah lebih lanjut, perlu dipikirkan hati-hati agar dampak perjanjian seperti TPP dan IEU-CEPA tidak bermanfaat negatif bagi Indonesia. (Ant/Muhammad Razi Rahman)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Sucipto
Tag Terkait:
Advertisement