Warta Ekonomi, Makassar -
Sebanyak 38 perusahaan dan rumah sakit di Sulsel mendapatkan rapor merah atas pengelolaan lingkungan hidup. Jumlah itu merupakan hasil penilaian peringkat kinerja perusahaan alias proper dalam pengelolaan lingkungan hidup dalam setahun terakhir. Pemerintah terus melakukan upaya pembinaan terhadap perusahaan maupun rumah sakit yang pengelolaan lingkungan hidupnya masih kurang baik tersebut.
Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH) Sulsel, Andi Hasbi Nur, mengatakan perusahaan atau rumah sakit yang pengelolaan lingkungan hidupnya tidak kunjung membaik akan diberikan sanksi administratif. Bahkan, bila memang tak bisa dilakukan pembinaan, maka pihaknya bisa menempuh jalur hukum, baik itu secara perdata maupun pidana. "Intinya kita utamakan dulu pembinaan," kata Hasbi, Rabu (8/2/2017).
Berdasarkan data yang dihimpun Warta Ekonomi, tercatat 38 perusahaan dan rumah sakit yang masuk kategori merah. Di antaranya yakni PT Comextra Majora, PT CS2 Pola Sehat, PT Eastern Pearl Flour Mills, PT Perkebunan Nusantara XIV atau Pabrik Kelapa Sawit Luwu, PT Maruki Internasional Indonesia, PT Panca Usaha Palopo Plywood Luwu, Rumah Sakit Siloam, Rumah Sakit Awal Bros, Rumah Sakit Stella Maris, Rumah Sakit Grestelina dan sejumlah perusahaan serta rumah sakit lainnya.
Berdasarkan hasil pemeringkatan itu, menurut Hasbi, pengelolaan lingkungan terbagi mulai yang terburuk yakni hitam dan merah. Adapun, pengelolaan lingkungan yang baik adalah biru. Selanjutnya, kategori hijau dan emas adalah pengelolaan lingkungan yang sangat baik dan tidak perlu lagi diawasi. Untuk kategori hitam, tercatat ada dua sampai empat perusahaan dan rumah sakit, di antaranya yakni PT Aluminium Indojaya dan PT Cahaya Cemerlang.
Selanjutnya, kategori biru dalam pengelolaan lingkungan hidup diraih 24 perusahaan dan rumah sakit. Kategori hijau tercatat cuma lima perusahaan dan kategori emas tidak ada. Lalu ada satu perusahaan yang belum diumumkan. Hasbi menyebut penilaian pengelolaan lingkungan bagi perusahaan sudah dilakukan pihaknya selama 15 tahun terakhir. "Biasanya perusahaan dapat kategori hitam dan merah di tahun pertama, tapi setelah dibina bisa membaik," ucap dia.
Menurut Hasbi, banyak aspek dalam pengelolaan lingkungan hidup yang mesti diperhatikan. Salah satunya yakni pengolahan limbah bahan berbahaya dan beracun alias B3. Khusus di lingkup rumah sakit dan puskesmas saja, limbah medis di Sulsel bisa mencapai 10 ton per bulan. Karena itu, pihaknya menargetkan pengadaan incinerator alias alat pengolah limbah pada tahun ini.
Berdasarkan data DPLH, tercatat 58 rumah sakit dan 432 puskesmas di Sulsel. Adapun yang memiliki incinerator masih hitungan jari. Di antaranya yakni RS Wahidin Sudirohusodo, RS Unhas, RS Bone, RS Siloam dan RS Vale. Sedang di tingkat puskesmas, rata-rata tidak memiliki alat pengolah limbah medis.?
Pengolahan limbah medis, menurut Hasbi, mutlak dilakukan agar tidak menjadi sumber penyakit baru. Permasalahannya, beberapa rumah sakit dan puskesmas kesulitan untuk merealisasikannya sesuai aturan. Rumah sakit dan puskesmas harus mengeluarkan anggaran berkisar Rp35 ribu hingga Rp45 ribu per kilogram dengan menyewa jasa pengumpul limbah medis atau pihak ketiga. "Nantinya kalau pemerintah yang kelola harganya bisa lebih murah berkisar Rp 15 ribu per kilogram."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.