Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Angkutan Online, Mau Ribut Terus atau Penegakan Hukum?

Angkutan Online, Mau Ribut Terus atau Penegakan Hukum? Kredit Foto: Cahyo Prayogo
Warta Ekonomi, Tangerang -

Angkutan berbasis "online" tampaknya masih akan menjadi polemik di kota-kota besar meskipun Kementerian Perhubungan telah menerbitkan revisi melalui Peraturan Nomor 32 Tahun 2016. Akan tetapi, tetap menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah kota.

Seperti warga Kota Serang kini melalui ponsel pintarnya dapat memanfaatkan jasa salah satu penyedia layanan transportasi "online" meskipun baru untuk layanan roda empat. Namun, tidak tertutup kemungkinan dalam waktu dekat akan masuk layanan roda dua.

Kondisi ini seharusnya sudah diantisipasi Pemerintah Kota Serang untuk segera menyiapkan regulasinya. Pengalaman di Kota Tangerang, terjadi gesekan antara pengemudi angkutan "online" dan angkutan umum seharusnya dapat menjadi pembelajaran.

Belajar dari Kota Tangerang sebelum adanya angkutan berbasis "online", masyarakat relatif banyak menggunakan angkutan umum untuk menjalankan aktivitasnya. Selain tarif lebih murah, juga gampang untuk mendapatkannya.

Namun, untuk angkutan umum atau angkot memiliki sejumlah kelemahan, yakni tidak ada jaminan ketepatan waktu, fasilitas di dalam angkutan umum yang tidak seragam, serta penumpang sering diturunkan seenak sopirnya.

Adanya permintaan inilah yang kemudian diisi angkutan berbasis "online", pengguna jasa tinggal mengakses melalui aplikasi ke lokasi tujuan, kendaraan akan datang dan siap untuk mengantarkan sampai ke lokasi tujuan dengan harga yang sudah pasti.

Kondisi demikian, sudah barang tentu memicu kecemburuan bagi penyedia angkutan konvensional yang menanggap kehadiran angkutan berbasis "online" mengurangi mata pencaharian mereka.

Persoalan sebenarnya bukan kepada sopir angkutan kota. Dengan berkurangnya pasar mereka, bisa saja beralih menjadi pengemudi angkutan "online". Sebenarnya yang paling terkena dampak hadirnya angkutan berbasis "online" adalah pemilik angkutan umum.

Sudah kehilangan sopir karena enggan "narik" sampai dengan setoran yang tentunya jauh berkurang, atau lebih parahnya angkutan umum yang mereka miliki terpaksa dikandangkan karena tidak ada yang mau menjalankannya.

Kalau menurut pengamat tranportasi Djoko Setijowarno, keributan horizontal ini tampaknya masih akan akan berlanjut meskipun pemerintah telah menerbitkan revisi peraturan, sosialisasi dan peraturan tambahan di daerah tetap harus dibutuhkan.

Pemerintah daerah tentunya akan kesulitan untuk menetapkan kuota taksi "online" , apalagi kuota ojek "online" yang memang tidak diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan RI.

Bagi Djoko, layanan "online" tersebut hanyalah sistem sehingga bukanlah segalanya. Dengan demikian, operator transportasi "online" seharusnya tidak dapat mengatur semuanya dengan berasumsi untuk menyediakan transportasi yang murah untuk memenuhi kebutuhan warga.

Djoko juga mengingatkan kepada penyedia angkutan "online" bukan semata-mata menyediakan layanan berbiaya murah, melainkan ada faktor penting yang juga harus dipehatikan adalah masalah keselamatan, termasuk dalam hal ini kelaikan kendaraan.

Patut juga mempertimbangkan sejumlah usulan agar operator angkutan "online" menggandeng pengusaha angkutan umum yang ada di daerah. Dengan demikian, angkutan umum ini juga dapat memanfaatkan sistem "online" yang mereka miliki.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, sepeda motor sebenarnya bukan termasuk kategori transportasi umum. Akan tetapi, sepeda motor tidak dilarang membawa penumpang. Namun, yang membedakan seharusnya penumpang tidak dikenai tarif.

Tarif sudah masuk dalam ranah bisnis di dalamnya terdapat hitung-hitungan mengenai tarif batas atas dan bawah, aspek keselamatan, keamanana, dan keamanan apabila dilegalkan, serta dimungkinkan mendapat subsidi apabila diperlukan sebagai angkutan umum perkotaan.

Di beberapa daerah sudah memiliki ojek pangkalan sebagai jawaban akan kebutuan ketersediaan transportasi umum yang masih kurang menjangkau akses kawasan permukiman.

Djoko mengatakan bahwa Kapolri harus berani memberikan pernyataan apabila sepeda motor bukan sarana transportasi umum berdasarkan UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Apalagi, menyangkut keselamatan, keamanan, dan kenyamanan.

Kebijakan ini sangat penting untuk memberikan kepastian kepada warga dan operator "online". Pasalnya, jika tidak, yang susah nantinya kepolisan dan pemerintah daerah karena harus selalu mengamankan setiap terjadi demo atau bentrokan horizontal antara pengusaha angkutan umum dan angkutan sepeda motor berbasis "online".

Data Korlantas di pusat maupun daerah menyebutkan angka kecelakaan tertinggi, korban tertinggi, dan pelanggaran tertinggi adalah dari sepeda motor, rata-rata 70 s.d. 80 persen.

Pemerintah daerah juga kesulitan untuk membedakan transportasi resmi dan transportasi "online", tidak mudah dan banyak kendala.

Jika pemda merasa ragu, lebih baik meminta perusahaan "online" untuk bergabung dengan perusahaan taksi resmi. Itu pun tidak bisa dipaksakan jika taksi resmi sudah memiliki sistem "online" sendiri.

Pemda sebaiknya berkonsentrasi untuk membenahi transportasi umum di daerah agar warganya lebih nyaman.

Pemkot Tangerang merupakan salah satu daerah yang sudah terkena imbas dari hadirnya kendaraan roda dua berbasis "online" tersebut telah melakukan sosialisasi terkait dengan revisi Peraturan Menteri Perhubungan RI.

Seiring dengan hal itu, Kepala Dinas Perhubungan Kota Tangerang Syaeful Rohman juga berjanji memberikan pelayanan angkutan umum, khususnya di Kota Tangerang, bisa menjadi lebih baik lagi.

Namun, terkait dengan hadirnya ojek "online", Syaeful memang belum dapat memberikan jawaban pasti. Dia hanya menyampaikan untuk mencari solusi agar pelayanan kepada masyarakat bisa menjadi lebih baik dan terciptanya kenyamanan untuk semua pihak.

Terkait dengan regulasi baru tersebut, Wali Kota Tangerang Arief R. Wismansyah harus bertemu dengan Menteri Perhubungan untuk memastikan agar peraturan tersebut dapat terlaksana serta berupaya mencari solusi yang terbaik antara penyelenggara angkutan umum di daerah.

Pemkot Tangerang ke depannya harus mulai memikirkan bagaimana agar pelayanan angkutan bisa makin meningkat dari segi kualitas pelayanannya sehingga tidak tergerus dengan perubahan yang terjadi sekarang, yaitu adanya pelayanan angkutan berbasis "online".

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi mengatakan bahwa revisi kebijakan tersebut sebagai upaya untuk menunjukkan kehadiran pemerintah dalam rangka memberikan kesetaraan. Pihaknya menginginkan angkutan umum, ojek pangkalan, dan taksi konvensional tetap eksis.

Terkait dengan kehadiran angkutan berbasis "online", Pemkot Tangerang juga telah membentuk tim terpadu untuk melakukan komunikasi dan koordinasi dengan Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub mengenai regulasi transportasi "online".

Tim terpadu itu akan melakukan konsultasi dengan Dirjen Perhubungan Darat dan BPTJ agar kasus perselisihan angkutan umum dan transportasi "online" tak terulang lagi dan menemui solusinya.

Pemkot Tangerang sejauh ini tetap berpatokan pada Permenhub Nomor 32 Tahun 2016 bila angkutan sewa harus berbentuk badan hukum, pasang stiker, harus diuji kir, dan ada kartu pengawasan, serta ada kontak pengaduannya.

Adapun mengenai regulasi peraturan transportasi "online" diserahkan kepada pemerintah daerah, pihaknya belum mengetahui secara jelas.

Oleh karena itu, tim terpadu akan mencoba untuk berkoordinasi agar pelayanan transportasi massal di Kota Tangerang berjalan dengan baik. (Ant/Ganet Dirgantoro)

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Sucipto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: