Gemuruh tepuk tangan memenuhi ballroom Hotel Imperialisme Tokyo, Jepang, Senin (5/6/2017) petang, sesaat setelah Wakil Presiden Jusuf Kalla menjawab pertanyaan terakhir Redaktur Pelaksana Grup Nikkei Seita Sakamoto. Ia adalah moderator acara "Konferensi Internasional ke-23: Masa Depan Asia" dengan tema "Globalisme di Persimpangan: Langkah Asia selanjutnya".
Tanggapan dan antusiasme sekitar seratus peserta konferensi internasional di Hotel Imperial Tokyo, Senin itu, menurut Masaomi Tanaka, warga negara Jepang penerjemah bagi Wapres JK, termasuk di luar kebiasaan orang Jepang yang akan menunggu arahan moderator dalam memberikan aplaus kepada pembicara, Hal itu seperti yang terjadi sebelumnya usai pidato Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Puc dan Mantan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong.
Dalam buku "Mengenal Jepang" karya Yusuke Shindo, masyarakat Jepang mengenal konsep "wa" yang menginginkan kehidupan yang damai dan harmonis yang didukung homogenitas dan konformitas masing-masing individu terhadap kelompoknya, sehingga aksi terorisme sangat dikecam.
Ditambah lagi, masyarakat Jepang secara relatif tidak mengetahui Islam dengan baik, sehingga begitu mudah pelaku teror akhir-akhir ini yang sebagian besar adalah muslim, diasosiasikan mewakili ajaran Islam secara keseluruhan.
Oleh karena itu, penjelasan dan ide yang ditawarkan Wapres untuk menanggulangi terorisme dengan cara damai disambut antusias oleh sekitar seratus hadirin Forum Nikkei yang sebagian besar adalah orang Jepang.
Aksi terorisme, radikalisme, dan ekstremisme menjadi salah satu topik yang banyak diangkat dalam Forum Nikkei, mengingat teror mengancam stabilitas keamanan dan politik suatu negara maupun kawasan yang pada akhirnya menjadi sentimen negatif bagi para investor untuk menanamkan modal dan usaha dalam menjalankan bisnis.
Wapres menyampaikan belasungkawa atas peristiwa teror yang keji tersebut dan juga menggarisbawahi bahwa radikalisme dan ekstremisme Wapres tidak mengada begitu saja, tetapi merupakan akumulasi dari rasa sakit hati, putus asa, dan kemarahan anak-anak dari negara yang gagal, seperti Afghanistan dengan Taliban dan Suriah dengan ISIS.
"Setiap kali ada aksi teror, selalu pertanyaan kapan dan di mana, tidak pernah orang menjawab pertanyaan kenapa, padahal selalu terjadi di negara gagal dan efek dari tindakan semena-mena negara besar kepada negara-negara itu, timbullah kemarahan, hilang harapan, nah timbullah radikal," kata dia.
Menurut JK, pertanyaan kapan dan di mana kadang melupakan alasan yang mendasari pelaku aksi yang rata-rata pelakunya masih berusia muda itu melakukan pengeboman yang menewaskan dan melukai banyak orang.
Wapres mengatakan saat aksi terjadi, publik dan media mengatakan alasan mereka melakukannya karena agama, keinginan jihad dan masuk surga, tapi tidak ada yang bertanya kenapa anak-anak muda itu sangat yakin akan masuk surga padahal dalam ajaran Islam, orang yang membunuh dan menyakiti orang lain bukan hanya menyakiti kemanusiaan, tapi juga mendapat hukuman neraka.
"Percaya bahwa dia akan mati karena jihad dan akan masuk surga adalah tanda bahwa dia sudah putus asa, kehilangan harapan pada kehidupan," kata dia.
Oleh karena itu, Wapres mengajak para pemimpin dan masyarakat dunia untuk menghentikan perlakuan semena-mena terhadap negara lain, dan membuka pintunya bagi para pengungsi yang sudah terlanjur lari dari rumahnya untuk mencari keselamatan dan kedamaian.
JK mengatakan tidak ada orang yang ingin meninggalkan negaranya kalau bukan karena terpaksa akibat perang dan konflik yang berkepanjangan, sama halnya para pengungsi dari Timur Tengah, terutama Suriah, yang lari ke negara-negara Barat.
"Kita harus membuka hati kita untuk mereka dan bekerja sama bagaimana mengembalikan harapan, bagaimana mengurangi kemarahan anak-anak muda ini, agar anak-anak ini terputus dari radikalisme dan ekstremisme," kata dia.
"Dari sinilah terorisme berawal, dan kalau induknya tidak berhenti, semuanya juga akan terus beranak-pinak," kata dia.
Akibat maraknya aksi terorisme akhir-akhir ini, Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Islam juga terkena dampaknya, antara lain aksi ledakan bom di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur, akhir Mei lalu, dan yang lebih parah adalah cap bahwa Indonesia masih jadi "sarang teroris".
"Padahal kita adalah korban, Indonesia bukan negara gagal. Pemerintah tidak akan membiarkan paham-paham radikal dan ekstrem menyebar luas di Indonesia," kata dia.
Meskipun demikian, Wapres tidak memungkiri adanya perkembangan pikiran-pikiran radikal dan ekstrem di kalangan masyarakat, antara lain yang menyerukan khilafah dan mengaku berasosiasi dengan ISIS.
"Tapi jumlahnya tidak sebesar yang dibayangkan, karena majority dari orang Indonesia tidak setuju dengan itu," kata dia.
Terkait dengan upaya penanggulangan terorisme, Jusuf Kalla juga telah melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Shinzo Abe di sela-sela Forum Nikkei, yang salah satunya membahas komitmen Jepang untuk meningkatkan kerja sama dengan Indonesia.
Komitmen Jepang tersebut, antara lain ditunjukkan melalui penandatangan Nota Pertukaran mengenai Sistem Deteksi Wajah dan Gerakan kepada Pemerintah Indonesia pada akhir Mei 2017.
Menurut Wapres, komitmen kerja sama antarnegara dalam menanggulangi terorisme, melakukan tindakan preventif, dan upaya deradikalisasi perlu ditingkatkan karena pada akhirnya perdamaian harus dipupuk secara terus-menerus.?(Ant)
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil
Tag Terkait:
Advertisement