Mendapatkan rating investment grade adalah impian semua negara, pasalnya keberadaan rating ini mencerminkan kondisi fundamental suatu negara. Tak heran, begitu lembaga pemeringkat internasional Standard and Poors menaikkan rating Indonesia ke investment grade bulan lalu, arus modal asing langsung menyerbu Indonesia karena investor menilai fundamental dan tingkat risiko fiskal Indonesia sudah membaik.
Indonesia yang tadinya dikenal dengan negara yang mencatat inflasi tinggi dengan suku bunga acuan double digit di awal tahun 2.000-an, secara perlahan dan pasti berupaya menurunkan inflasi hingga single digit dan serta-merta diikuti dengan penurunan suku bunga acuan.
Pemerintah juga secara perlahan mengurangi beban subsidi baik dari bahan bakar minyak (BBM) maupun listrik serta berupaya menurunkan risiko eksternal yang tercermin pada defisit neraca berjalan atau yang lebih dikenal dengan deficit current account?sehingga risiko fiskal dan keseimbangan eksternal semakin berkurang.
Risiko inilah yang menjadi perhatian para investor baik di pasar saham dan obligasi sehingga saat Indonesia mendapat rating investment grade dari S&P, investor asing tak ragu memborong obligasi Indonesia.
Ekonom Bahana Sekuritas Fakhrul Fulvian menilai dengan kenaikan rating Indonesia, dalam waktu tak lama lagi kemungkinan setelah lebaran, yield obligasi dengan tenor 10 tahun bakal turun ke kisaran 6,5%, dari yang saat ini masih tercatat sekitar 6,9%.
"Tentunya para investor tak mau ketinggalan momentum ini, sebelum yield turun lebih lanjut, mereka sudah masuk pasar terlebih dahulu. Apalagi ke depan inflasi akan diupayakan turun terus yang otomatis ini akan mempengaruhi imbal hasil yang bisa dinikmati para investor," katanya dalam keterangan yang diterima Warta Ekonomi di Jakarta, Rabu (7/6/2017).
Akhir Mei lalu, inflasi tercatat sebesar 4,33% secara tahunan, sedikit naik dibandingkan April karena adanya faktor musiman menjelang bulan puasa dan lebaran. Namun, angka tersebut masih dalam target Bank Indonesia untuk sepanjang tahun ini sekitar ?3%-5%.
"Secara struktural sudah banyak perbaikan yang dilakukan oleh pemerintah bahkan juga untuk jangka panjang," katanya.
Hal ini terlihat dari terus turunnya tren inflasi jangka panjang Indonesia disokong oleh berhentinya faktor kejut dari subsidi BBM dan perbaikan kondisi logistik di Indonesia. Pada tahun 2020, Bank Indonesia juga telah menargetkan inflasi untuk berada pada level 3+1%, di bawah target 4.0+1% pada tahun 2017.
"PR pemerintah saat ini adalah membuat pendalaman pasar keuangan sehingga perbaikan yang terlihat di sektor rill bisa dimanfaatkan secara optimal. Pendalaman pasar swap juga semakin dimungkinkan ke depannya karena kenaikan rating akan meningkatkan likuiditas dalam negeri,"?ujar Fakhrul.
Hingga dua tahun ke depan, investor asing maupun lokal yang ingin mengoleksi obligasi atau surat utang jangka panjang adalah saat yang tepat untuk membelinya karena pemerintahan Joko Widodo sangat konsen menjaga stabilitas harga-harga, membangun infrastruktur, dan mengurangi beban subsidi atau secara garis besar, reformasi struktural akan terus dilanjutkan, yang artinya pasar Indonesia akan semakin efisien sehingga tingkat suku bunga tinggi akan segera berakhir.
"Pada akhir tahun ini, investor perlu berhati-hati karena ada kemungkinan inflasi akan naik akibat kenaikan harga BBM, meski kenaikan inflasi tidak akan sebesar tahun-tahun sebelumnya saat harga BBM naik, kenaikan inflasi saat ini lebih terukur," ungkap Fakhrul.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement