Ketidakstabilan dan kekacauan politik mencapai puncaknya pada 30 Maret, ketika hakim Mahkamah Agung Venezuela, dengan Presiden sosialis Nicolas Maduro, memutuskan bahwa mereka akan mengambil alih kekuasaan legislatif Kongres pimpinan oposisi, dalam sebuah langkah yang dikecam oleh partai-partai oposisi sebagai upaya untuk menciptakan sebuah sistem kediktatoran.
Pada bulan Januari 2016, Mahkamah Agung menunda pemilihan empat legislator, tiga yang terdaftar dalam oposisi dan satu dengan partai yang berkuasa, karena adanya dugaan penyimpangan suara, sebagaimana dikutip dari laman Al-Jazeera, Rabu (3/8/2017).
Pihak oposisi menuduh pengadilan tersebut berusaha mencabut jumlah mereka yang notabene mayoritas, dan kemudian memimpin tiga legislator yang bersangkutan. Sebagai tanggapan, Mahkamah Agung memutuskan bahwa seluruh Majelis Nasional telah gagal dan semua keputusan yang dibuatnya akan menjadi batal.
Kebuntuan berlanjut, ketika pejabat pemilihan umum menunda referendum tetap atau lanjut dalam melawan Presiden Maduro dan menunda pemilihan daerah sampai 2017.
Setelah Majelis Nasional menolak untuk menyetujui perusahaan minyak negara yang dikelola negara, PDVSA, untuk membentuk usaha patungan dengan perusahaan swasta, pemerintah pergi ke Mahkamah Agung, yang memutuskan bahwa mereka akan mengambil alih kekuasaan legislatif Kongres pimpinan oposisi.
Pasukan keamanan melakukan demonstrasi keras yang terjadi pada hari berikutnya, dan meski pengadilan dengan cepat membalikkan keputusannya, demonstrasi di jalan terus berlanjut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Hafit Yudi Suprobo
Editor: Hafit Yudi Suprobo
Tag Terkait:
Advertisement