Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai perubahan iklim yang tengah terjadi secara global dapat mengakibatkan gangguan pada sektor jasa keuangan dan berpotensi memicu krisis ekonomi.
Demikian yang dikatakan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam lawatannya memenuhi undangan Bank Dunia untuk membahas dua isu besar, yaitu "Annual Meeting of the IFC-led Sustainable Banking Network (SBN)" dan "Regulatory Approaches for Non-Systemic Banks" di Washington D.C pada pekan ini.
"Perlu adanya global roadmap keuangan berkelanjutan yang diharapkan dapat mempercepat pemenuhan pendanaan untuk tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) dengan meningkatkan peran sektor swasta secara global," kata Wimboh dalam keterangan resminya yang diterima Warta Ekonomi di Jakarta, Rabu (18/10/2017).
Menurut Wimboh, agar lebih efektif, masing-masing negara harus memiliki strategi nasional pengembangan keuangan berkelanjutan yang membangun komitmen bersama dan mengkolaborasikan berbagai instansi, akademisi, industri jasa keuangan, dan sektor bisnis.
"OJK sudah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik," ucapnya.
Sebelumnya, pada Desember 2014 OJK juga sudah mengeluarkan roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia yang bertujuan menjabarkan kondisi yang ingin dicapai terkait keuangan yang berkelanjutan dalam jangka menengah (2015-2019) dan panjang (2015-2024) bagi industri jasa keuangan yang berada di bawah pengawasan OJK serta untuk menentukan dan menyusun tonggak perbaikan program keuangan berkelanjutan.
Sementara dalam forum "Regulatory Approaches for Non-Systemic Banks", Wimboh menyampaikan bahwa setiap negara memiliki struktur perbankan, kompleksitas, dan ukuran yang berbeda-beda sehingga standardisasi pengaturan kehatian-hatian bank nonsistemik secara internasional sulit dilakukan.
"Sehingga yang lebih diperlukan adalah penyesuaian standar kehati-hatian di masing-masing negara termasuk kerangka pengawasannya dengan karakteristik bank nonsistemik di masing-masing negara tersebut atau asas proporsionalitas," kata Wimboh.
Hal ini, lanjutnya, agar pengaturan berlebihan yang memicu compliance cost yang tinggi dapat diminimalkan tanpa mengurangi efektivitas pengaturan dan pengawasan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fauziah Nurul Hidayah
Tag Terkait:
Advertisement