Penetapan tinggi muka air tanah (TMA) pada kisaran 0,6-0,8 meter sesuai Permentan Nomor 14/2009 seharusnya menjadi acuan TMA dalam penerbitan PP 57/2016.
"TMA 0,6-0,8 meter lebih aplikatif karena teruji melalui pengalaman dan penelitian perkebunan sawit selama puluhan tahun," kata Kabid Prasarana, Sarana, dan Perlindungan Perkebunan Disbun Provinsi Jambi Asnelly Ridha Daulay dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa (19/12/2017).
Asnelly berpendapat TMA pada kisaran 0,6-0,8 meter terbukti lebih bagus dan mampu mendorong produktivitas sawit.
"Sangat disayangkan tiba-tiba muncul TMA 0,4 meter serta tanpa adanya kajian ilmiah. Apalagi keputusan itu ditetapkan tanpa melibatkan Kementerian Pertanian. Akibatnya, regulasi tersebut sulit tersosialisasi dengan baik," kata dia.
Adapun, Ketua Masyarakat Sawit Darmono Taniwiryono menyarankan PP 57/2016 seharusnya dilakukan melalui kajian lmiah dan tidak menyamaratakan ketentuan tinggi muka air 0,4 meter untuk semua jenis tanaman.
"Tinggi muka air 0,4 meter bisa diterapkan untuk tanaman semusim karena perakarannya pendek. Sementara itu, perkebunan kelapa sawit idealnya muka air tanah antara 0,6-0,8 m," kata dia.
Menurut dia, lahan kelapa sawit saat ini sudah sustainable. Saat ini satu hektare lahan sawit menghasilkan 10 ton minyak sawit/CPO. "Kalau tidak ada tanaman sawit, mau berapa luas lahan yang harus disediakan untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dan energi terbarukan seperti biofuel?" kata Darmono.
Dia menyarankan pemerintah harus lugas dalam pemanfaatan gambut. Gambut-gambut yang masih baik memang harus dikonversi. Namun demikian, gambut yang sudah rusak sebaiknya dimanfaatkan untuk budidaya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait:
Advertisement