Pelaksana Tugas Ketua DPR Fadli Zon menilai desain awal Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) memiliki tugas membangun ekosistem keamanan siber nasional sehingga bukan mengurusi informasi bohong atau "hoax" atau konten negatif di internet.
"Jadi, kalau tiba-tiba Kepala BSSN (Djoko Setiadi) berbicara seolah-olah tugas BSSN adalah untuk menangkal 'hoax', itu harus segera diluruskan. Untuk mengatasi `hoax', `hate speech', atau konten negatif internet, sudah ada lembaga yang menangani hal itu, mulai dari Direktorat Cyber Crime di Bareskrim Polri, Kominfo, hingga Dewan Pers," kata Fadli di Jakarta, Senin (8/1/2018).
Hal itu dikatakannya terkait pernyataan kontroversial Kepala BSSN Mayjen TNI Djoko Setiadi tentang "hoax yang membangun dan kewenangan penangkapan, yang dilontarkan pada hari pelantikannya pada Rabu (3/1).
Menurut Fadli, apa pun motifnya, pernyataan itu sangat berbahaya karena sebagai lembaga baru, tugas dan fungsi BSSN punya potensi untuk ditarik-ulur sesuai kepentingan kekuasaan, sehingga tidak lagi sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Politisi Partai Gerindra itu menilai BSSN adalah layaknya tugas kementerian pertahanan di dunia maya, misalnya harus bisa mengantisipasi serta mengatasi serangan ransomware seperti "Wannacry".
"Jangan sampai `ransomware' semacam itu mengancam atau bahkan merusak infrastruktur siber strategis yang kita miliki, seperti jaringan siber perbankan, bandara, rumah sakit, atau sejenisnya. Jadi, itulah wilayah tugas BSSN, yaitu membangun ekosistem keamanan dunia siber, dan bukannya ngurusi `hoax' dan sejenisnya," ujarnya.
Dia menilai mengacu pada praktik di negara-negara lain, keamanan siber terbagi dalam tiga kategori, yaitu ancaman siber (cyber threat), kejahatan siber (cyber crime), dan perang siber (cyber conflict).
Tahu posisinya Fadli menjelaskan sesuai undang-undang, penanganan kejahatan siber di Indonesia merupakan menjadi tanggung jawab Polri, termasuk di dalamnya "cyber terrorism", dan untuk perang siber, sepenuhnya menjadi kewenangan institusi TNI.
"BSSN seharusnya mengetahui di mana posisinya terkait tiga kategori, namun masalahnya kalau saya baca Perpres pembentukannya, yaitu Perpres No. 53/2017, tugas dan kewenangan BSSN ini memang tidak jelas, karena hanya menyebut keamanan siber tanpa merinci taksonominya. Karena tak jelas, tugas dan kewenangan itu rentan ditafsirkan meluas," katanya.
Fadli mengatakan mengacu pada desain awalnya, BSSN sebenarnya diposisikan sebagai lembaga koordinasi, isinya adalah para pemangku kepentingan dari lembaga terkait yang sudah ada, seperti Polri, TNI, BIN, ataupun Kominfo.
Menurut dia, sebagai lembaga koordinasi, BSSN akan menyusun kebijakan strategis, melakukan koordinasi, serta bertanggung jawab ketika terjadi ancaman atau insiden serangan siber.
"Namun dengan desain yang sekarang, sesudah Perpres-nya diubah menjadi langsung berada di bawah Presiden, tugas BSSN rentan tumpang tindih, karena merasa berkuasa. Pernyataan Kepala BSSN mengenai perlunya kewenangan penangkapan dan penindakan menunjukkan tendensi itu," katanya.
Fadli mengatakan seharusnya formasi BSSN langsung di bawah Presiden itu ditujukan untuk memperkuat fungsi koordinasinya, bukan menambah kekuasaannya sehingga bisa tumpang tindih dengan lembaga lain.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo melantik Mayjen TNI Djoko Setiadi sebagai Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) di Istana Negara Jakarta, Rabu (3/1).
Djoko Setiadi mengatakan, lembaganya akan turut berperan untuk membasmi hoax yang banyak bertebaran di media sosial.
"Tentu 'hoax' ini kita lihat, ada yang positif dan negatif. Saya imbau kepada kawan-kawan, putra-putri bangsa indonesia ini, mari sebenarnya kalau itu membangun ya silakan saja," kata Djoko.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil